Secara sederhana ekonomi diartikan sebagai usaha manusia dalam memproduksi, mendistribusi dan mengkonsumi barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak baik kebutuhan secara fisik maupun yang berkaitan secara ruhani. Sedangkan syariah dalam konteks ini berarti aturan yang diambil dari Islam. Dalam masalah ekonomi Ibnu Taimiyah mengatakan:” Syariah tak pernah melarang sesuatu, yang larangan itu bisa menimbulkan rintangan bagi kehidupan ekonomi. Itu bertentangan dengan semangat syariah. Dan sebenarnya secara nurani tidak ada masyarakat yang ingin kehidupan ekonominya mereka dimasuki unsur dosa di dalamnya, seperti penolakkan untuk melaksanakan kewajiban atau keterlibatan perbuatan yang dilarang, yang memang hukumnya dilarang.”
Tiga Kaidah Syariah
1.Akidah
Dalam aktifitasnya yang berkaitan secara ekonomi harus tetap diyakini bahwa ada nilai ibadah di dalamnya, karena rizki merupakan hak mutlak dari Allah sedang manusia hanya bertugas menjemputnya.
“Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Al-Ankabut :62
2.Ilmu
Merupakan hal yang mutlak juga bagi manusia untuk menjemput rizki dengan ilmu. Ini akan mengantarkan manusia pada yang benar dan menghindarkan kesalahan didalam aktifitas ekonominya, agar muamalahnya benar, usahanya lancar dan hasilnya baik dan halal menuju keberkahan.
3.Amal
Sisi ini merupakan hasil dari pemahaman dan aplikasi sisi akidah dan sisi ilmiah, yang dampaknya nampak dalam kualitas produksi, distribusi maupun dalam mengonsumsi. Karena sejatinya semua amal atau kerja harus dilakukan sebaik mungkin.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Al Mulk : 2
Dari sini saja sudah terlihat harusnya semua pihak berusaha memberikan yang terbaik sesuai aturan yang ada.
Tiga Hal Yang Harus Dilakukan
Setiap manusia untuk bisa menjalankan dan menjalani kehidupan yang damai, tenang dan mencapai kesuksesan baik secara dunia maupun akhirat harus saling bersinergi, karena sifat dasar manusia adalah penuh kelemahan dan kekurangan. Untuk itu manusia harus melakukan;
1.Ta’awuni (saling menolong)
“Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik dalam membayar hutangnya”. HR. Bukhari
“Apabila seorang menghutangi orang lain maka janganlah mengambil suatu kelebihan”. HR. Ahmad
2.Takaful (saling menanggung)
“ Seorang hamba Muslim yang membayar hutang saudaranyanya maka Allah akan melepaskan ikatan penggadaiannya pada hari kiamat”. HR. Mashabih Sunnah
3.Ta’min (saling melindungi)
“Orang yang mendatangkan barang dagangan (impor) untuk dijual selalu akan memperoleh rizki dan orang yang menimbun barang akan dikutuk Allah”. HR. Ibn Majah
“Barangsiapa tidak memperhatikan (mempedulikan) urusan kaum Muslimin maka dia bukan termasuk dari mereka”. HR. Abu Daud
Tiga Hal Yang Harus Dihindari
Ada hal-hal yang harus dihindari supaya apa yang dilakukan manusia terutama dalam ekonomi bisa berjalan baik dan benar dan bisa saling menguntungkan. Hal-hal tersebut adalah;
1.Kezaliman
Zalim berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allah, maka setiap perbuatan yang melampaui syariat, baik dengan menambahi maupun mengurangi adalah perbuatan zalim. Lawan kata dari zalim adalah berbuat adil. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman;
“Wahai hamba-hambaKu ! Sesungguhnya Aku telah mengharamkan berbuat zalim atas diriKu dan juga telah Aku haramkan kezaliman sesama kalian, maka janganlah kalian berbuat zalim”. HR. Muslim
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” Al-Maidah : 8
2.Gharar
Bisa diartikan hal-hal yang menyangkut resiko, tipuan dan menjatuhkan diri kedalam kebinasahan. Dalam ekonomi bisa diartikan aktifitas ekonomi yang tidak jelas kesudahannya atau yang hanya salah satu pihak yang mendapat keuntungan sedangkan pihak lain mengalami kerugian. Gharar dalam ekonomi jenis dan sifatnya sangat banyak.
3.Riba
Riba bisa menyangkut penambahan dan juga bisa pengurangan. Riba sering diartikan menambah beban kepada pihak yang berhutang (riba dayn) atau menambah/mengurangi takaran saat melakukan tukar menukar 6 komoditas (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar – menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan secara tidak tunai.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” Al-Baqarah: 275-276
Dalam aktifitas ekonomi kita harus hati-hati karena riba ini begitu banyak dan Rasulullah Muhammad telah menjelaskannya, kita harus aktif dan kritis dalam bertransaksi.
“Akan datang suatu masa dimana tiada seorangpun yang makan uang riba. Kalau tidak ribanya maka ia akan terkena asapnya (atau debunya).”HR. Abu Daud
Ekonomi Syariah Menyatukan
Selama ini bila kita berbicara ekonomi syariah maka yang muncul di benak kita adalah bank maupun lembaga keuangan lainnya. Padahal sudah jelas bahwa ekonomi itu merupakan proses produksi, distribusi dan konsumsi. Bila melihat masa lalu dan masa yang akan datang untuk menjaga kestabilan ekonomi biar tidak tergoncang oleh krisis, maka langkah yang baik adalah menyatukan sektor keuangan dan sektor real. Jadi dalam hal ini uang hanya dijadikan alat (bila satu jenis) tukar/pembayaran bukan sebagai komoditi. Karena pada dasarnya uang tidak bisa menghasilkan uang (bunga). Maka dari itu lembaga keuangan paling tidak mempunyai dua fungsi yang amat penting dalam ekonomi global sekarang yaitu;
1.Memudahkan usaha-usaha ekspor dan impor dikarenakan mata uang negara-negara berbeda nilai dan melindungi hak-hak eksportir dan importir.
2.Memudahkan dana-dana investasi berdasarkan patungan (usaha patungan dalam ketenagakerjaan dan permodalan yang menguntungkan) karena pemilik uang ingin menginvestasikan kelebihan uangnya ke lembaga keuangan. Yang tentunya karena syariat Islam merupakan haluan lembaga keuangan syariah tentunya harus memilih produk-produk yang tidak menyebabkan timbulnya krisis. Serta harus berpihak juga pada sektor agrobisnis dan usaha mikro, sudah terbukti bahwa usaha mikro lebih tahan krisis dan semakin besar ekonomi dunia semakin kuat usaha kecil.
Harapan Untuk Kemakmuran
Melihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan, baik yang terjadi di lembaga keuangan, lembaga sosial, maupun di sektor real, maka masih banyak yang harus dibenahi dengan mengacu pada tiga hal yang ada pada kaidah syariah, tiga hal yang harus dilakukan dan tiga hal yang harus dihindari, karena syariahlah yang menentukan mana yang maslahat dan mana yang mafsadat yang sebenarnya (hakiki). Akal hanyalah memahami suatu kenyataan sebagaimana adanya. Kemudian akal memahami pula nash-nash syar’i yang berkaitan dengan kenyataan tersebut, lalu nash-nash diterapkan terhadap kenyataan. Jika telah diterapkan dan sesuai dengan pembahasan maka dikatakan maslahat berdasarkan nash-nash syar’i. Bila tidak sesuai dengan kenyataan tersebut, maka dicari nash-nash yang mempunyai makna yang sesuai dengan kenyataan tersebut, agar mengetahui maslahat yang telah ditetapkan oleh syara’, dengan memahami humum Allah dan petujnjuk Rasul dalam masalah tersebut. Jadi maslahat harus berdasarkan syara’, bukan pada akal. Ia senantiasa menyertai syara’. Dimana ada syara’ pasti ada maslahat. Sebab syara’lah yang menentukan kemaslahatan bagi manusia selaku hamba Allah dan biar tidak terjadi maslahat yang akal-akalan.
Pada lembaga keuangan syariah ada beberapa fakta yang terjadi sehingga masyarakat sedikit apriori terhadapnya. Ternyata tidak sesuai syariah walaupun dengan jelas mencantumkan nama syariah, fakta dilapangan praktek yang ada tidak sesuai dengan apa yang di fatwakan Dewan Syariah Nasional/DSN (MUI), sedangkan beberapa fatwa DSN masih perlu dikritisi karena tidak sesuai dengan dalil yang lebih kuat. Jadi jangan disalahkan ketika ada yang mengatakan syariah lebih mencekik dari konvensional dan Bank/Lembaga Keuangan Syariah seperti serigala berbulu domba. Yang selanjutnya harus ada pensinergian antara lembaga sosial (Baznas, Rumah Zakat, dll), lembaga keuangan dan pemerintah sendiri untuk mencapi kemakmuran masyarakatnya.
Saling Menguntungkan
Langkah pertama untuk menuju Masyarakat Ekonomi Syariah adalah pengilmuan dan eduksi yang benar tentang syariah itu sendiri di semua lini, dari pemerintah, aktivis hingga masyarakat. Kalau ekonomi syariah tidak saling menguntungkan maka tidak mungkin sekarang ini setiap negara di belahan timur dan barat, utara dan selatan saling berkompetisi dan bersinergi membentuk ekonomi syariah. Dan sejarah mencatat dengan penerapaan ekonomi syariah (berbasis pada zakat dan sedekah), khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam jangka waktu dua tahun bisa memakmurkan rakyatnya, sampai orang kesulitan untuk memberikan sedekah karena sudah tidak adanya rakyat yang berhak menerima sedekah dikarenakan kemakmuran telah tercapai. Dan pada dasarnya ekonomi syariah bersifat rahmatan lil’alamin bisa diterapkan oleh siapa saja tanpa pandang ras, suku maupun agama.
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” At Taubah : 105
Daftar Bacaan:
Afzalurrahman (1997). Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Jakarta: Penerbit Yayasan Swarna Bumi
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Dr (2003). Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa
Gazali, Ahmad. Ir.H (1996). Menuju Masyarakat Industri Yang Islami. Jakarta : Nimas Multima
Ishlahi, A.A, Dr. (1997). Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu
Ismail, Muhammad (1996). Bunga Rampai Pemikiran Islam. Jakarta: GIP
Kuntowijoyo (2007). Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Naisbitt, John (1994). Global Paradox. Jakarta: Binarupa Aksara
Saud, Mahmud Abu (1996). Garis-Garis Besar Ekonomi Islam. Jakarta: GIP
Tamizi, Erwandi, Dr (2013). Harta Haram Muamalah Kontemporer. Bogor: Berkat Mulia Insani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H