[caption id="attachment_175572" align="aligncenter" width="519" caption="Acungan Jari Tengah Bang Foke Gubernur DKI Jakarta (tempo.co)"][/caption] Warga Jakarta pada umumnya tidak peduli siapapun jadi Gubernur asalkan mampu memperbaiki keadaan. Maka segala bentuk propaganda yang tidak menyentuh kepentingan mayoritas warga tidak akan laku. Mereka sudah bosan dengan akal bulus politisi yang cuma pandai mengumbar janji di masa kampanye. Dan oleh karenanya warga banyak yang suka menerima "berkah di muka" dari calon Gubernur. Terutama dalam bentuk barang berharga. Pemberian dari manapun diterima tapi di kotak suara bisa lain lagi ceritanya. Pilkada DKI Jakarta 2007 adalah contoh sikap kebanyakan warga siap mnerima pemberian barang berharga dari kandidat Gubernur manapun. Mereka bilang, "Sekarang aja deh... Mana buktinya mau ngasih sesuatu buat gue?" Maksudnya tidak percaya janji di masa kampanye. 30 tahun tinggal di Jakarta sejak tahun 1981, saya saksikan telah terjadi perubahan besar. Antusiasme warga Jakarta merosot dalam menyongsong Pemilu (Pemilihan Umum) dalam skala lokal maupun nasional. Dulu jaman Orde Baru fanatisme simpatisan sangat kuat mendukung GOLKAR, PPP, PDI. Mungkin karena hanya ada 3 partai politik (parpol) sehingga mudah untuk konsolidasi. Namun sejak Reformasi 1988 runtuhlah fanatisme simpatisan karena berhadapan dengan puluhan partai politik yang pada dasarnya adalah pecahan dari 3 parpol di atas. Bagaimana dengan Pilkada DKI Jakarta 2012? Mari lihat di lapangan apa yang terjadi tanpa perlu ngaku ngaku paling tahu, apalagi tidak tinggal di Jakarta. Mari perhatikan bahwa 3 calon Gubernur terkuat mengingatkan kita kepada 3 kekuatan politik. Dulu Golkar, PDI, PPP. Sekarang PD, PDIP-Gerindra, PKS-PAN. Menyongsong Pilkada DKI Jakarta 2012 yang jatuh hari pamuncak pada 11 Juli 2012, saya melihatnya sbb: 1) Per hari ini 9 Mei 2012 hanya 3 kandidat yang paling potensial menang: Fauzi Bowo (Foke), Joko Widodo (Jokowi), Hidayat Nur Wahid (HNW). 2) Foke - Gubernur asli Betawi dan diusung Partai Demokrat - mengandalkan kampanye jalur birokrasi dan komunitas Betawi. Bagusnya adalah tertib, rapi, samar samar kapan Foke bicara dalam kapasitasnya sebagai Gubernur sekarang dan kapan bicara sebagai calon Gubernur di masa mendatang. Jeleknya adalah memanfaatkan sikap sebagian aparat yang over acting untuk menghalangi ijin kampanye kandidat lain. 3) Jokowi - Walikota Solo dibawah asuhan PDIP - mengandalkan kampanye menggetaran hati wong cilik yang haus pemimpin populis. Bagusnya adalah tergolong generasi baru yang masih fresh, didukung track record kisah sukses, dan mampu mengoptimalkan popularitas di media. Jeleknya adalah simpatisan terkesan doyan kekerasan, sering terjebak retorika yang terkesan mengusik establishment mayoritas Islam. Serupa sedekah amunisi kepada lawan politik untuk menggoreng issue sentimen agama. 4) Hidayat Nur Wahid (HNW) - bekas Ketua MPR di bawah lindungan PKS - mengandalkan kampanye jalur pengajian-mushola-masjid. Dimotori oleh simpatisan militan tak kenal lelah silaturahmi dari pintu ke pintu. Bagusnya adalah HNW jaminan pribadi yang bersih- santun-beriman, dan sangat getol menjaga moralitas bangsa. Jeleknya adalah dalam berkampanya suka bikin risih. Yaitu ada semacam pemaksaan pendirian bila tidak memilih orang PKS maka dicap: kurang beriman, tidak islamis, hingga musuh islam. 5) Gubernur DKI Jakarta adalah jabatan strategis di pusat kekuasaan negara. The ruling elite tentu ambil bagian untuk mengamankan posisi mereka. Khusus dalam perkara ini Foke unggul. Bagaimanapun istana akan all-out jangan sampai kursi Gubernur Jakarta jatuh ke tangan lawan politik yang membahayakan kedudukan SBY-Partai Demokrat. * Kemudian Bagaimana Prediksi Calon Pemenang? Nampaknya, sekali lagi, warga Jakarta tidak ambil pusing siapa akan menang. Hanya berharap ada perbaikan nasib. Tidak ada gerakan masiv anti si A atau anti B, ini hanya ulah segelintir orang. Ada upaya mengalihkan perhatian dari 'kepentingan khalayak umum' kepada 'kepentingan fanatisme golongan'. Sayangnya Warga Jakarta tidak sebodoh yang ditulis segelintir orang di media, yang berusaha mengelabui mana perkara pokok dan mana perkara ecek-ecek cari sensasi. Warga Jakarta mayoritas sudah punya pilihan dalam hati akan mencoblos/mencontreng siapa. Kecuali ada kejadian luar biasa yang mampu mengubah sikap dan pilihan. ::: Ragile, 9mei2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H