Mohon tunggu...
Ragile (Agil)
Ragile (Agil) Mohon Tunggu... Administrasi - seorang ayah yang kutu buku dan pecinta damai antar ras, agama, dan keyakinan

"Tidak penting SIAPA yg menulis, yg penting APA yg ditulis" (Ragile 2009). Pendiri #PlanetKenthir. Pro #Gusdurian. Lahir: 1960. Kuliah Sastra Inggris. Gawe Software Komputer ; Keuangan. Nama: Agil Abdullah Albatati (Engkong Ragile). FB: Agil Abd Albatati. Twitter: @KongRagile. Alamat: Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Topeng Siti Topeng Reena (#2)

26 Agustus 2010   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:42 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kematian Sudain dibakar massa menghantarkan demam tinggi sekujur langit. Domba yang dicuri oleh Sudain menuntut balas. Mewujud hantu-hantu kulit domba, menyusup di setiap kelopak mata. Hari ini Desa Teror  terlahir dari abu jasad Sudain. Tangisnya menancapkan pedang di kitab besar  kerajaan langit. * *

*

[caption id="attachment_238034" align="aligncenter" width="275" caption="Topeng... Topeng.... Kowe sopo? (ksuponiter.com)"][/caption]

Usai mandi sore Siti berkaca di atas air sungai. Bedak Viva digosok ke pipi, lipstik sisa dioles ke bibir. Cengar-cengir memuji diri sambil nyanyi-nyanyi kecil. Ketika membetulkan rok dalam, dia melongo. Siluet serpihan kulit domba terpampang ngambang di pangkal paha. Bagai tattoo kecil mengapung.

"IIIHHHH... APAAN NIH? Tidak mungkin... Tidak mungkiiiin...!!! Ibuuu..." jeritannya melengking, leher tercekik teror penampakan. Lalu raib. "Tidurlah Siti..." teguran dari kamar, "Jangan diingat-ingat peristiwa tadi. Kamu penakut. Perasa. Eh. Maling kudu dihukum bakar biar  Mampus!!!"  sang ibu yakin. "Bila perlu bakar sekeluarganya. Biar Bebas Maling. iya toh Bu...?" si Bapak menimpali.

*

Bergidik bulu roma, rumah horor membayang, Siti melek sampai pagi. Desa nan indah dan ramah berubah warna. Bau amis darah ada-tiada. Ada apakah gerangan? Karena arus pendatang? Tak percaya aparat hukum? Ragu manfaat jentrak-jentrik ibadah? Ataukah adopsi gaya Arab Saudi "potong tangan maling" dengan sedikit improvisasi? Dalam hati Siti bertanya-tanya. * * Pagi. "Buat apa dipikir? Ikut gue aja Siti... Enjoy... Enjoy..." cibir Reena  lalu bersiul-siul di depan kandang domba. Ratusan domba  dipotret dalam frame jurus sedih. Ribuan pamflet disulap seharum ziarah surgawi. "SITI. Sekarang jaman edan. Kudu pinter-pinter. Kayak gue nih," pamer Reena. "Pinter apa?  Palsuin masa lalu? Jualan foto orang miskin? Menyadur kisah? Dagang ibadah agama? Hi hi hi... Aku nggak bisa. Terlalu bodoh untuk gituan, Reena. Sorry." "AHAAA... Kamu bisa. Kemaren ngebohongi Bapak. Bilang mau les, nggak taunya nonton bioskop, " sindir Reena. Jari tangan Reena bergerilya di atas komputer. Dalam riep-riep setengah sadar terketiklah kalimat:

"SEKARANG JAMAN NARSIS, NGGAK NIPU NGGAK EKSIS"

* *

Siang. Segerombolan bocah-bocah jalanan mengais-ngais sisa makanan dari tong sampah. Kontan Siti  merogoh uang jajan untuk diberikan,  rasa berdosa bergelayut di kepala. Segumpal awan putih bertahta pualam memayungi Siti. Bocah-bocah sumringah menggamit erat lengannya. Seakan sebuah janji untuk  menerbangkan Siti melintasi titian rambut dibelah tujuh, melayang sambil senyum-senyum.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun