Mengundurkan diri bukan perbuatan hina. Sama tidak hinanya jika karyawan dimutasi atau di-PHK. Karena kita tahu bahwa ada naik ada turun, ada maju ada mundur, ada gabung ada pisah. Wajar bukan? Sudut pandang kita dan persepsi kitalah yang mereken hina. Bukan nilai dari keputusan itu, bukan pula peristiwa yang menimpa diri kita.
Begitu gencarnya sodokan kepada Mentri Keuangan Sri Mulyani yang mempertanyakan keputusan bailout (penalangan) Bank Century yang kolaps dengan potensi kerugian negara tak kurang dari 6,7 trilyun Rupiah.
Sri Mulyani bisa jadi akurat dalam mengambil keputusan tahun lalu untuk menyelamatkan ekonomi negara dalam konteks dan moment saat itu. Tapi secara politis bisa saja disalahkan bila dikaji ulang pada saat ini. Entah benar atau salah yang jelas kebijakan Sri Mulyani dan reputasinya sedang dipertanyakan. Artinya masih layak atau tidak duduk di jabatan tsb?
Psywar (perang urat syaraf) dg Ketua Umu Partai Golkar Aburizal Bakrie nampaknya tak bisa ditutup-tutupi. Dan di belakang Aburizal banyak pihak yang sepaham untuk, langsung atau tidak langsung, menghendaki Sri Mulyani non aktif untuk sementara.
Masalanya Budaya Mengundurkan Diri Belum Membumi. Ini bukan maslah benar atau salah, malu atau gengsi, menang atau kalah. Tapi secara moralitas tidak ada salahnya bila Sri Mulani mengundurkan diri agar tidak mengganggu roda pemerintahan di mana posisi dia sangat strategis.
Saya teringat dulu jaman Orde Lama Bung Hatta undur diri sebagai Wakil Presiden karena ada ketidakcocokan dg kebijakan Presiden Soekarno. Apakah Bung Hatta terhina? Tidak!
Gus Dur juga secara tidak langsung undur diri dg membiarkan dirinya dimakzulkan oleh MPR setelah mengeluarkan Dekrit Pembubaran DPR. Apakah Gus Dur terhina? Tidak!
Baik Bung Hatta maupun Gus Dur tetap harum namanya dan dikenang sebagai salah satu tokoh penting di negeri ini.
Budaya Mempertahankan Jabatan Mati-Matian Itulah Masalahnya. Sejak jaman Orde Baru sangat nyata terbangun budaya dilarang undur diri dari jabatan meskipun terbukti salah dalam mengemban tugas negara. Dan sampai sekarang budaya itu terus diawetkan demi kepentingan politik dan pencitraan. Yang lebih kental bernuansa serakah dg aroma arogansi kekuasaan.
Memelihara Perkara, Apa Sih Enaknya? Apapun yang dipikirkan dan dipertimbangkan oleh Sri Mulyani badai perkara terus mendera disertai dg kegelisahan dan penderitaan. Baik kepada dirinya maupun keluarganya.
Bisa jadi undur diri adalah keputusan paling jempolan untuk menghentikan semua itu. Bila alasannya ingin terus mengabdi kepada bangsa dan negara, masih banyak tempat lain dan bidang lain yang membutuhkan kehadiran dan kecakapannya. Bila alasannya karena yakin tidak bersalah dalam kasus Bank Century, apakah harus bersalah baru mengundurkan diri?