[caption id="attachment_110120" align="alignleft" width="292" caption="Jakob Oetama pendiri Kompas-Gramedia grup"][/caption]
Bahwa istilah revolusi menggetarkan jiwa banyak orang, boleh diakui. Bahwa ngaku diri revolusioner pun tak ada salah. Dan bahwa bukti revolusioner kudu unjuk kebencian sampai musuhnya mati, menyaksikan serta puas melihat musuhnya mati di kuburan, itu lain lagi. Jiwa revolusioner macam apakah itu? Bukankah revolusioner berkaitan dengan semangat perubahan mendasar untuk mendobrak ketidakberesan sistem dan budaya? Koq larinya ke dendam pribadi. Maka timbul pertanyaan pada diri saya: Kenapa Jokob Oetama pendiri dan boss Kompas-Gramedia jadi sasaran revolusi pribadi? Adakah relevansinya dengan kerusakan sistem dan budaya Indonesia?
Adalah suatu sore di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat pada awal tahun 2010. Dalam suatu obrolan santai tapi serius sambil ngopi. Kawan yang ngaku diri revolusioner dan punya ambisi politik untuk jadi tokoh besar berkata kepada saya. Setidaknya diulang 3x, mungkin lebih. Ungkapan kebencian dirinya kepada Jakob Oetama pendiri dan boss Kompas-Gramedia Grup. Penuh ekspresi dia menceritakan bahwa Jakob Oetama adalah tokoh manusia Indonesia yang kiprahnya merusak Indonesia. Namun karena menguasai media massa terkuat di Indonesia maka yang terdengar hanya yang baik-baik saja.
Sekedar mengingatkan menurut Wikipedia, Jakob Oetama sbb:
Dr (HC) Jakob Oetama (lahir di Borobudur, Magelang, 27 September 1931; umur 79 tahun), adalah wartawan dan salah satu pendiri Surat Kabar Kompas. Saat ini ia merupakan Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia, Pembina Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia, dan Penasihat Konfederasi Wartawan ASEAN.
Jakob adalah putra seorang pensiunan guru di Sleman, Yogyakarta. Setelah lulus SMA (Seminari) di Yogyakarta, ia mengajar di SMP Mardiyuwana (Cipanas, Jawa Barat) dan SMP Van Lith Jakarta. Tahun 1955, ia menjadi redaktur mingguan Penabur di Jakarta. Jakob kemudian melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Sosial Politik UGM Yogyakarta.
Bersama P.K. Ojong, ia mengelola majalah Intisari pada tahun 1963, yang mungkin diilhami majalah Reader's Digest dari Amerika. Tahun 1965, bersama Ojong, Jacob mendirikan harian Kompas, dan dikelolanya hingga kini. begitulah informasi umum dari Wikipedia.
Nah, menurut sahabat saya yang ngaku diri paling revolusioner di Indonesia, beda sama sekali. Tentu boleh-boleh saja. Dia bilang bahwa Jakob Oetama adalah tokoh kebal hukum, curang dalam pembayaran pajak grup usahanya, dan penikmat jurnalisme kapitalis. Lihay menempatkan diri dalam percaturan politik dan ekonomi sehingga selalu berada di atas angin sejak awal 1960an.
Sebagai orang awam saya menangkapnya wajar orang punya pendapat semacam itu. Dengan catatan untuk perkara berkaitan pidata dan pidana perlu bukti konkrit. Bukan asal nuduh. Lalu apa kaitannya dengan dunia revolusi? Satu perkara saja: Jakob Oetama Kebal Hukum. Apa iya? Pernahkah dia tersandung perkara hukum yang nyata-nyata salah lalu lolos dari jerat hukum?
Reportnya sahabat saya ini sangat keras dalam menuduh orang. Seingat saya dia suka menuduh orang lain munafik jika tidak sependapat dengan dirinya. Munafik, menurut dirinya, seakan jadi label abadi kepada siapa saja yang tidak sependapat dengannya. Setau saya munafik itu adalah lain perkataan lain pula perbuatan. Entahlah jika dia telah menemukan pencerahan di mana arti munafik teranyar adalah sikap tidak sependapat/melawan pandangan hidup orang lain. Kedengarannya lucu, tapi itulah kesan yang saya dapatkan.
Kira-kira setahun kemudian setelah ngobrol-ngobrol di TIM awal 2010, kami ketemu lagi. Bincang-bincang lagi. Saya pikir dia sudah berubah. Eh, ternyata tidak. Mungkin sudah wataknya. Ya, wataknya sangat begitu benci dengan media Kompas/Gramedia Grup. Persisnya mungkin "benci tapi rindu", sebab anehnya dia itu begini: