SALAH kaprah masih parah hingga hari ini!
Seakan Rasulullah dipercaya orang Arab jaman jahiliah karena dia pandai syiar agama. Tidak. Buku sejarah mengatakan Muhammad muda adalah pedagang jujur dan sukses jauh sebelum jadi nabi. Ini kuncinya. Maka dari itu, sesuai tradisi Arab yang berpatokan pada hukum "percaya setelah muamalah", orang Arab begitu percaya kepada beliau karena kejujuran dalam berdagang. Kata Kuncinya adalah, sekali lagi, "percaya setelah muamalah" atau percaya setelah melakukan transaksi dagang/uang.
Tradisi Arab tersebut masih hidup hingga kini.
Kebetulan ayah saya keturunan Arab. Saya sering mendengar nasihat dari famili baik yang dari Indonesia maupun di Saudi dan Yaman. Bahwa patokan untuk menemukan orang yang bisa dipercaya adalah setelah muamalah. Karena transaksi uang mengandung godaan besar. Bila pelaku mampu jujur dalam berdagang dan amanat uang maka luluslah ia menjadi orang yang bisa dipercaya.
Jangan salah kaprah. Anda bisa jadi orang terpercaya - dalam tradisi Arab - bukan karena orang pinter, bukan karena rajin ibadah, bukan karena jago khotbah, bukan karena ngaku punya niat baik. Tapi karena Anda punya bukti nyata, punya sertifikat reputasi tak tertulis, yaitu jujur dan lurus ketika muamalah (transaksi dagang/keuangan).
Tradisi ini berlaku untuk semua kelas dalam masyarakat.
Kembali ke jaman Rasulullah. Beliau konon diakui kejujurannya baik oleh kawan maupun oleh lawan. Ini adalah modal akhlak dan reputasi yang amat penting dan amat besar agar dipercaya omongannya. Maka tak heran bila orang Arab pada percaya ketika beliau pada usia 40 tahun mengaku mendapat wahyu dari Allah.
Ingat, pada jaman itu orang Arab galak-galak, amat perhitungan sama fulus, tidak mudah percaya mulut orang. Mereka adalah bangsa pedagang dengan naluri bisnis mendarah daging sampai tujuh turunan. Tapi, mengapa mereka percaya penuh kepada Muhammad Rasulullah? Karena beliau dikenal luas sebagai pedagang jujur, lurus, dan sukses. Itu kuncinya!
Di samping itu...... Rasulullah juga tau aturan/etika bisnis. Tidak pernah mencampuradukkan antara uang dagang dengan uang sedekah. Karena bila dicampur aduk akan memberi peluang untuk berbuat curang. Misalnya: bila hasil perdagangan gagal lantas bisa ngeles dari tanggung jawab dengan alasan uang sedekah koq minta diperhitungkan.
Bagaimana di Indonesia?
Sebagai muslim saya amat prihatin. Banyak kejadian di mana umat ketipu oleh orang orang yang minta dipercaya hanya bermodal pandai khotbah agama. Tanpa rekam jejak muamalah yang baik.