[caption id="attachment_174289" align="aligncenter" width="489" caption="Presiden SBY dengan PM David Cameron (independent.uk)"][/caption]
3 kali saya bertemu dengan pria itu; mantan asisten Mentri top jaman Orde Baru, mantan inteligen negara, seorang perwira militer. Sambil ngopi di sebuah warung di Jakarta Timur pada pertengahan tahun 2011. Tanpa diminta dia bercerita sendiri bagaimana cara kerja lobby politik melakukan negosiasi antar kekuatan. Maksudnya adalah agar tercapai kata sepakat di belakang layar melalui 3 utusan yang dipercaya oleh istana negara. Dengan harapan menemukan formasi jabatan pucuk pimpinan negara beserta jabatan strategis guna menjamin stabilitas dan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia.
Beliau berusia 60 tahun lebih, berperawakan tegap, gesit, hati hati dalam bicara, dan menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia, serta taat beragama Islam. Perawakannya mengingatkan saya kepada seorang perwira, asisten Wakil Presiden Tri Soetrisno yang pernah bincang bincang dengan saya di sebuah hotel.
Konon beliau pada tahun 2009 diutus ke Jogya untuk membujuk agar Sri Sultan Hamengkubuwono X bersedia mengurungkann minat bertarung memperebutkan kursi RI-1 melalui jalur Partai Golkar. Sebagai gantinya ada penawaran untuk berpasangan menduduki jabatan Wakil Presiden dengan SBY. Namun Sri Sultan menolak dengan halus. Begitu juga ketika ditawari menjadi Wakil Presiden dengan Megawati, Sri Sultan kembali menolak dengan halus.
Tim Negosiasi, kata pria tersebut gagal membawa Sri Sultan ke kursi RI-2. Nampaknya Sri Sultan hanya berminat meraih jabatan RI-1 guna menjamin terlaksanananya visi beliau dalam menjalan roda pemerintahan. Sedangkan posisi RI-2 tidak menarik minat Sri Sultan karena hanya jabatan seremonial belaka.
Dua tahun kemudian, tahun 2011, pria tersebut konon diutus ke Jogya guna menyampaikan amanat dari the ruling elite Jakarta kepada Sri Sultan. Amanat berbunyi agar Sri Sultan bersiap diri memangku jabatan Presiden sekiranya Presiden SBY jatuh oleh pemakzulan melalui Sidang MPR, atau keadaan darurat lainnya. Mengingat ketika itu santer pemberitaan upaya pemberhentian SBY dari kursi Presiden karena dianggap gagal.
Saya bertanya bukankah bila SBY jatuh otomatis Boediono sebagai Wakil Presiden akan diangkat menjadi Presiden? Saya bertanya bukankah Boediono tidak punya kekuatan politik dan bisa menimbulkan gejolak sosial bila duduk di kursi RI-1? Dia bilang semua sudah dipikirkan baik baik agar sesuai konstitusi dan lahir pemimpin baru yang diterima secara luas oleh rakyat.
Bagaimana caranya?
Si Bapak itu menjelaskan kepada saya begini: Bila SBY jatuh maka Boediono diangkat menjadi Presiden sementara yang fungsinya hanya menyelenggarakan Pemilihan Presiden yang dipercepat. Kira-kira 3 bulan. Oleh karena itu Sri Sultan akan diminta maju menjadi kandidat Presiden dan diyakini akan menang.
Namun saya tidak mendengar jawaban Sri Sultan, dari si Bapak itu, apakah bersedia ataukah tidak untuk maju menjadi kandidat RI-1. Walau demikian ini adalah pelajaran dan pengetahuan baru bagi saya bagaimana cara kerja broker dan lobby politik Indonesia. Benar tidaknya semua kisah itu saya tidak konfirmasi kepada pihak terkait. Saya hanya pendengar setia dalam 3 kali pertemuan dalam tempo 2 bulan, dengan si Bapak yang baik hati memberi ilmu. Nampaknya semua itu realistis dan lumrah (what's going on behind the scene) bila menengok real politik di Indonesia. Itulah akhir bincang-bincang kami dalam 3 kali pertemuan yang masing masing memakan waktu sekitar 1,5 jam. Bagaimanapun, Terimakasih, Pak.
***
Ragile, 21-apr-2012