Bila Anda terkejut dengan hasil survey LSI untuk Pilkada DKI Jakarta 2012 mungkin karena lupa hasil serupa pada Pilpres 2009. Sekedar mengingatkan saat itu JK begitu populer, bahkan unggul di atas SBY pada polling intern Kompasiana. Serupa dengan hari ini ketika survey LSI menempatkan Foke-Nara unggul telak dengan 49,1%, disusul Jokowi-Ahok dengan 14,4%. Dengan catatan masih ada 17,4% responden yang belum mengambil keputusan dari total 440 responden. Satu hal yang perlu dicatat adalah popularitas calon bukan jaminan memenangkan pertarungan. Mengingat sistem pemilihan yang kita anut adalah rakyat bebas memilih namun atas bimbingan dan pengarahan the ruling elite.
Tanpa bermaksud merendahkan Calon Gubernur lain, ijinkan saya membatasi diri untuk membahas peruntungan kedua pasangan, yang secara riil dianggap paling berpeluang menang.
A. Gubernur DKI Jakarta Setara Dengan Mentri Negara
Mengingat posisi strategis menduduki kursi kekuasaan di jantung ibukota negara, kuasa Gubernur DKI setara dengan Mentri Negara. Inilah satu satunya Gubernur yang sekota dengan Presiden dan para pejabat tinggi negara. Oleh karenanya elite penguasa berkepentingan agar Gubernur terpilih adalah selaras dengan penguasa di istana negara. Siapa paling selaras dengan ISTANA dialah yang paling berpeluang menang, atau dimenangkan. Dalam hal ini pasangan Foke-Nara unggul telak, mengingat parpol yang mengusung mereka adalah PD dan , konon, sebagian Golkar. Sedangkan pasangan Jokowi-Ahok yang diusung partai oposisi PDIP dan Gerindra dianggap kurang selaras. Hasil survey LSI telah bicara. Ia adalah gambaran tingkat aksepsibilitas melalui random sampling 440 responden di mana Foke meraup 49,1% dan Jokowi 14,4%.
B. Real Politik Mengatakan Restu Militer dan Polisi Adalah Mutlak
Kadang kita lupa bahwa kekuatan riil dan paling solid di ranah politik adalah organisasi militer dan polisi. Mereka punya jaringan luas, bebas bergerak, dan sangat menentukan jatuh bangunnya kursi kekuasaan. Ketika saya membaca blog Pak Chappy Hakim di Kompasiana maka mudah diduga bahwa suara beliau mewakili militer, mengingat beliau mantan Kepala Staff Angkatan Udara. Beliau mempertanyakan cara kerja Jokowi yang hanya satu jam saja di kantor dan bergaya pengusaha. Meskipun hal ini tidaklah substantif namun bisa diraba maksud dan maknanya. Sedangkan blog Iwan Piliang di Kompasiana yang mengungulkan Jokowi nampaknya tidak mewakili suara the ruling elite.
Sekali lagi hasil survey LSI telah bicara. Ia menegaskan bahwa Jokowi hanya meraup tingkat penerimaan sebesar 14,4%.
C. Pengumuman Survey Sebagai Prediksi, Conditioning dan Perang Urat Saraf
Meskipun lembaga survey melahirkan prediksi berdasarkan metode ilmiah namun tidak bisa dipungkiri sebagai bagian dari proses politik. Prediksi untuk menggambarkan apa kiranya yang akan terjadi. Conditioning diciptakan untuk menggiring ke arah mana angin akan berhembus. Perang uraf saraf adalah efek samping dari benturan antara genderang harapan dan raport kenyataan.
Sekali lagi survey LSI telah bicara. Anda boleh lega, Anda boleh meradang, tapi inilah hasilnya. Hasil dari sebuah sistem politik adu banyak suara riil di bawah naungan seni menciptakan kemungkinan melalui kampanye dan propaganda.
D. Manuver "Satu Putaran Saja" Tidak Bisa Dihindari