Tegalsari, Tegal 1979. Tak kan pernah kulupa. Aku terdampar dan terhempas di kota kecil yg panas teriknya membakar kulit bocah desa di sekujur tubuhku. Ketika sanak-famili membuang muka, ketika sahabat abah lupa masa lalu yg indah, ku temukan tempat berlabuh pilihan Tuhanku Yg Maha Teduh. Hatiku luluh dalam dekapan rumah sederhana, berdesakan tidur usel-uselan dg kawan sekelas di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yg juga tuan rumah. Aku indekost.
Entah siapa namamu, aku selalu menyebutmu Ibu. Orang memanggilmu Bu Yusup, istri Pak Yusup. Badanmu mungil, senyummu meneduhkan, bahasa tubuh dan ceplas-ceplosmu membuatku lupa bahwa aku masih punya ibu tiri yg baik hati di rumahku di sekitar Brebes. Juga lupa dg ibu kandung di sekitar Brebes yg pisah kandang sejak aku berusia 2 tahun. Bermanjaan dg mu Bu, weee selezat menumpuk lima batang pohon tebu davos yg dibedol dari kebun tebu. Terus kukupas dg gigi-gigiku, kugigit dan kuhisap manis legit airnya yg membuatku hanya ingat satu ayat di daun jambu klutuk: dunia ini indah dan nikmat toch?
Tegal hanyalah kota kecil di Jawa Tengah. Tegalsari di tepi pantai laut utara tenggelam dalam bau amis ikan laut sepanjang hari. Hiburan udara segar satu-satunya adalah di pagi hari ketika rombongan mobil Colt mengangkut bunga melati sampai munjung-munjung untuk didrop ke pasar-pasar. Semerbak melati yg kusuka dan kurindu selalu sejak bayi membuka pagi ceria di Tegalsari. Udara mewangi melati, sihir keringat dewi-dewi penghuni surga, rasanya bagaikan "ning suarga ngalor setitik" (di syurga ke utara sedikit).
Biasanya siang pulang sekolah bocah-bocah sekolah pada ngumpul. Puluhan Sepeda diparkir sembarang tempat depan rumah Ibu yg hanya punya anak kost tunggal, aku. Warung Nasi milik keluarga ibu nempel depan rumah di sayap kiri. Makan siang paling nikmat, dijamin murah - lauk favorit tempe mendoan ditutul kecap-cabe rawit super pedes. Ditutup dg ngobrol ngalor-ngidul, ledek-ledekan, dan cekakakan bocah-bocah SPG. Mengitari hidangan Teh Poci dan rokok kretek sebagai ritual rutin paling wajib tanpa peduli dg dampak sistemik di sekitar paru-paru.
Dihibur genjrang-genjreng gitar setengah bodol petikan maut Taryono - tuan rumah sekaligus teman sekelasku - selalu meniru gaya Ebiet G Ade. Yg lagi keranjingan cinta dan putus cinta mau tidak mau melakukan approach agar Taryono memilih lagu yg pas untuk mendesahkan suara hati. Kadang Taryono langsung menggebrak dg sebuah lagu setelah membaca situasi terkini di sekolah. Tak pelak yg kesentil nyanyian nakal Taryono berubah merah pipinya, lalu sibuk mengalihkan topik pembicaraan. Aku paling sering jadi target sentilan nyayian Taryono. Kadang aku sewot ingin balas nyentil, sayangnya nggak becus pegang gitar. Anehnya kalo lama nggak disentil koq kangen, perasaan kurang diperhatikan, hahaha...
Entah kenapa rumah Ibu hampir berfungsi seperti rumah ibadah bagi anak-anak SPG. Start dari jam 2 siang hingga larut malam ada saja yg mampir. Mulai dari rencana piknik bareng, kabur dari rumah, curhat, urusan Sekolah dan PR, sampai dg konsultasi dan solusi percintaan. Termasuk planning rahasia ngerjain guru-guru yg bikin sebel, misalnya mengosongkan kelas pas guru X dapat giliran mengajar . Kebetulan aku bintang kelas dan Taryono pandai memuliakan tamu-tamu, teruatama siswi-siswi. Dan anehnya apapun yg terjadi tidak ada kata sesal, yg ada cuma ngakak dan ngakak. Ngakak adalah sumber spirit kehidupan kami yg terdesak secara ekonomi, mungkinkah begitu?
Di sinilah terasa benar kehadiran Ibu yg mengayomi kami semua. Dia bukan hanya ibunya Taryono tapi juga ibu bagi kami semua. Kedekatannya dibuktikan dg sering berada di tengah-tengah kami, meladeni keluh-kesah kami yg tak habis-habis, tak bisa tidur kalau aku belum pulang, gelisah kalau aku besengat-besengut nggak mau makan. Juga pandai menghibur ketika aku lagi puyeng, dg guyonnya dan ledekan-ledekannya yg bikin kangen. Lucunya kalo sehari nggak ledek-ledekan perasaan belum bayar utang.
Pak Yusup tak kalah sayangnya kepadaku. Meski beliau pendiam tapi penuh perhatian. Cocok sebagai pengganti ayahku yg telah tiada: pendiam, bicara seperlunya, tegas, dan punya selera humor lumayan tinggi. Kehadirannya bagai patung polisi yg gagah dan berwibawa- semua berjaga-jaga jangan sampai kebablasan dg fasilitas yg serba bebas dan serba boleh.
Tahun 1981 aku hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Fakultas Bhs & Sastra Inggris. Setiap kali pulang kampung ke Brebes, aku kadang sengaja mampir ke Tegal duluan, artinya ketika Bus sampai di Brebes aku tidak turun tapi melanjutkan perjalanan lebih jauh ke arah timur, 30 menit sampai Tegal. Keluarga Pak Yusup menyambutku bagaikan anak rantau baru pulang kandang. Kangen-kangenan dg anak kost yg tak kalah meriahnya dg anak kandung sendiri. Tak kuasa air mataku berlinang betapa masih ada orang lain yg menyayangi diriku apa adanya. Kerasnya batu luluh dicelup air zamzam dari sumsum bu kost.
Melewati tahun 1990 satu persatu meninggal dunia. Termakan usia, Pak Yusup meninggal duluan, disusul Bu Yusup. Yg tragis Taryono meninggal secara mengenaskan di tengah jalan di luar kota Tegal. Ketika mengendarai motor bertabrakan dengan sebuah truk. Badannya tergilas, tewas seketika. Masya Allah, orang-orang yg memberiku kasih-sayang, inspirasi, spirit, dan kehormatan begitu cepat meninggalkan dunia yg fana ini. Tinggalah kisah warna-warni bunga melati menari-nari mengitari pelangi dg selendang sutera mengibas awan dan mega.
Yang aku ingat, dari sanalah - dari rumah kost- kehidupanmu berubah dengan cepat dan memikat, bahkan sangat mengesankan. Dari anak yg dulunya dikenal bergajulan dan bandel menjadi bintang kelas yg merebut beasiswa, sekaligus menaklukan hati keluarga besarku yg kebanyakan menjadikanku sebagai contoh segala keburukan. Jarum nasib berubah cepat berkat polesan ajaib Ibu Kost.