Hari Guru Nasional Dalam Tinjauan Sejarah
Peringatan Hari Ulang Tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang juga masyhur diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN) memanglah telah menjadi agenda tahunan para guru Indonesia. Tujuannya sama dengan peringatan hari-hari besar yang lain yakni untuk dapat menengok kembali sebagai bahan refleksi diri menuju arah yang lebih baik lagi.
Perjalanan Peringatan Hari Guru Nasional pastinya terhitung pada masa kemerdekaan yakni tahun 1945 dengan terbentuknya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang sebelumnya dikenal dengan Persatuan Guru Indonesia (PGI). Jauh sebelum itu, embrio PGRI muncul dari sebuah organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada masa penjajahan yang bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHN) pada 1912. Namun sulit bagi PGHN untuk memperjuangkan nasib dan hak guru pribumi secara menyeluruh pada saat itu, sehingga memantik sejumlah organisasi-oragnisasi baru untuk berdiri seperti Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD) dan Persatuan Guru Ambachts School (PGAS).
Jumlah organisasi yang banyak dan beragam menyadarkan para guru pribumi untuk mulai merajut persatuan demi perjuangan yang sama yakni menuntut hak mereka dari Belanda. Para Kepala Sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang selalu dijabat oleh orang Belanda, perlahan bisa digantikan oleh orang pribumi. Dan puncaknya, organisasi-organisasi yang berbeda tersebut (terdiri dari sekira 32 organisasi) termasuk juga PGHB dirajut menjadi satu dan berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) yang menunjukkan semangat kebangsaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, para guru menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 Agustus 1945 di Surakarta, yang mana menghasilkan keputusan untuk menghapus organisasi guru yang sebelumnya ada (seperti Persatuan Guru Desa, Persatuan Guru Bantu dan Persatuan Guru Ambachts School) yang terkesan membeda-bedakan tamatan, lingkungan pekerjaan, daerah, politik, agama dan suku. Selain itu, para anggota Kongres sepakat untuk membentuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan pada hari itu pula menjadi pertanda resmi berdirinya PGRI yang kita peringati sampai saat ini.
Dinamika yang terjadi sampai berdirinya PGRI dinilai memiliki pengaruh besar terhadap kebangkitan para guru dan kemerdekaan Indonesia. Sebagai penghormatan dan apreasi, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 menetapkan hari berdirinya PGRI pada 25 November sebagai Hari Guru Nasional yang kita peringati setiap tahunnya.
Guru Dalam Tinjauan Masyarakat Jawa Tradisional
Masyarakat Jawa tradisional secara sosio-kulural masih memandang profesi Guru sebagai profesi yang terhormat. Ini dibuktikan dari kata "guru" yang dalam bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok yang berarti "digugu lan ditiru" yang mempunyai makna dipercaya dan dicontoh. Guru menjadi panutan bagi masyarakat kerena keahlian, kemampuan dan perilaku yang pantas menjadi teladan bagi semuanya.
Sucipto Hadi Purnomo dalam paparannya ketika menjadi pembicara tunggal dalam Sarasehan Budaya "Mencari Guru Ideal dalam Tokoh Jawa sebagai Guru Bangsa" di UNNES, melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup sederhana, namun tak mudah menjawabnya. Beliau bertanya tentang siapakah tokoh dalam khazanah Jawa yang bisa disebut sebagai sosok guru yang ideal? Drona, Abiyasa, Mpu Bharadah ataukah Semar? Dia lantas menarasikan kisah Drona dalam perspektif sebagai guru yang baik. Menurutnya, hilangnya kekuatan Drona saat Baratayuda lantaran dia sangat kecewa mendapati para Kurawa (murid yang ia banggakan selama ini, lebih-lebih Yudistira) justru tega membohongi gurunya sendiri. Sehingga beliau menambahkan bahwa "kegagalan terbesar seorang guru adalah ketika ia tak berhasil menanamkan kejujuran pada anak didiknya. Menanggapi pertanyaan seorang peserta bahwa Drona adalah  contoh guru yang buruk, buru-buru Sucipto menepisnya dengan menyatakan bahwa stigmatisasi terhadap guru, sebagaimana dialami Drona sudah lama berlangsung. Ekspektasi terhadap guru memang demikian besar, sehingga tak jarang sedikit saja kekurangan guru, dianggap kurang semua. Ibaratnya nila setitik rusak sebelanga.
Oleh karenanya, ada beberapa kriteria yang harus dimiliki seorang guru agar memenuhi gambaran ideal masyarakat Jawa tradisional. Pujangga Keraton Surakarta -- Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati menuliskan delapan kelompok sosial yang pantas menjadi guru, yakni (1) Bangsa Awirya (Orang yang berkedudukan/Jabatan); (2) Bangsaning Agama (Para Ulama Ahli Kitab); (3) Bangsaning Atapa (Para Pendeta yang Senang Bertapa); (4) Bangsaning Sujana (Orang yang Memiliki Kelebihan dan Orang Baik); (5) Bangsaning Aguna (Para Cerdik Pandai yang Memiliki Keahlian Tertentu/Khusus); (6) Bangsaning Prawira (Prajurit yang Memiliki Ketenaran dalam Olah Keprajuritan); (7) Bangsaning Supunya (Orang Kaya yang Masih Memiliki Keberuntungan); dan (8) Bangsaning Susatya (Kaum Petani yang Rajin dan Telaten).
Seorang guru, menurut Kitab Wirid Hidayat Jati setidaknya memiliki kemampuan dalam delapan hal yakni paramasastra (memiliki kemampuan dalam bidang sastra), paramakawi (memiliki kemampuan dalam bahasa Kawi), mardibasa (mampu berbahasa dengan baik), mardawalagu (mampu membawakan lagu dengan luwes), hawicarita (memiliki kemampuan bercerita dengan baik), mandraguna (memiliki keahlian dan keterampilan), nawungkrida (cerdas dalam memahami tanda-tanda alam dan zaman), dan sambegana (selalu ingat/tidak pelupa). Selain kedelapan kemampaun tersebut, dalam hal hubungan dengan murid, guru dituntut untuk memiliki sifat asih ing murid (mengasihi murid), telaten pamulange (telaten dalam mengajar), lumuh ing pamrih (tidak pamrih), tanggap ing sasmita (mengetahui yang diinginkan murid), sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka), ora ambalekaken patakon (tidak mengembalikan pertanyaan/mampu memberikan jawaban), ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid) dan ora amburu aleman (tidak mengejar pujian). Selanjutnya masih dalam Kitab Wirid Haidayat Jati terkait kriteria menjadi guru yang baik, meliputi mulus ing sasira (tidak cacat), alus ing wicara (halus dalam bertutur kata), jatmika ing solah (bersahaja dalam perilaku), antepan bebudene (memiliki kepribadian yang baik), paramarta lelabuhane (tulus dalam pengabdian), patitis nalare (cerdas), becik labete (berkelakuan baik) dan ora duwe pakareman (tidak memiliki kesenangan yang dapat menjatuhkan kedudukannya sebagai guru).