Mohon tunggu...
Randhi P.F.H
Randhi P.F.H Mohon Tunggu... Jurnalis - Editorial

Pembelajar seumur hidup, penulis kelas "kencur" yang berharap tulisannya bisa memberi pencerahan bagi khalayak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Terburu-buru Menulis, Adillah Sejak dalam Pikiran

3 Mei 2016   03:14 Diperbarui: 3 Mei 2016   13:00 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: aurecongroup.comSUNGGUH lumrah tatkala kita ingin selekas mungkin berkomentar atas suatu peristiwa di dunia maya, bahkan mungkin di dunia nyata. Ilmu Fisika dalam hukum III Newton mengenalinya dengan hukum aksi dan reaksi. Reaksi selalu menimpali aksi. Era digital juga “menuntut” setiap netizen lekas berespons selaras unggahan teks, foto, audio dan video.

Disebut lumrah sebab manusia dibekali kemampuan primitif ini. Refleks yang dituntut sebagai pertahanan diri. Reaksi cepat selepas dilanda aksi dari sesuatu di luar individu itu sendiri. Begitu pun, tidak keseluruhan realitas kehidupan, termasuk di era digital, kemampuan primitif ini difungsikan.

Stephen R. Covey yang dijuluki Si Elang Botak pada The Seven Habbits of Highly Effective People menyebutkan manusia memiliki anugerah berupa ruang bebas. Ruang bebas itu terletak di antara aksi dan reaksi. Ruang bebas itu disebut pilihan. Manusia dianugerahi kemampuan memilih reaksi atas aksi yang terjadi.

Selepas dimaki, kita tak lantas memaki. Selepas dipukul, kita tak lantas balas memukul. Setelah dicubit, kita tak balas mencubit. Tentu tidaklah mudah. Namun, sebagai makhluk berpikir (homo sapiens), ada manusia yang tidak lantas beraksi selepas aksi.

Berpikir lebih dulu sebelum bertindak. Mengidentifikasi apa yang baru terjadi, lalu menganalisisnya dan pada akhirnya memutuskan tindakannya.

Kasus Sonya Depari dan Pembunuhan Dosen
Ada dua contoh kasus aksi-reaksi yang baru saja terjadi akhir-akhir ini di Medan, yang kemudian menjadi sorotan nasional. Pertama, kasus seorang siswi SMA Sonya Depari yang terekam video melawan Polwan saat razia pasca gelaran Ujian Nasional beberapa waktu lalu.

Sonya Depari terekam menuturkan dia anak seorang jenderal, tepatnya Deputi Penindakan Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Armand Depari. Singkat kata, video ini menjadi suguhan berita media-media mainstream hingga media abal-abal. Viral pula dalam hitungan menit di jejaring media sosial.

Sonya Depari pun kian habis dirisak (bully) mayoritas netizen, bahkan jadi trending topic seusai Armand Depari yang diwawancari media massa bilang Sonya bukan anaknya, pada hari itu juga.

Ayah Sonya syok atas pemberitaan yang ia tonton di televisi. Tak berapa lama menghembus nafas. Tak lama berselang, Armand Depari mengklarifikasi bahwa Sonya Depari merupakan keponakannya.

Laku mayoritas netizen sontak berubah haluan, dari awalnya merisak Sonya mendadak melontarkan iba. Tak sampai di situ, media massa kemudian jadi sasaran risak.

Teranyar, kasus pembunuhan mantan dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Muhammadiyah. Pembunuhan tragis yang terjadi di momen Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei ini secepat kilat jadi perbincangan nasional. Hangat pula diulas para netizen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun