Sang pembunuh merupakan mahasiswa sang ibu dosen. Ragam portal berita ragam pula desas-desus yang dijadikan berita online. Ada yang menyebutkan RS, inisial mahasiswa yang melakukan pembunuhan, ditengarai problem skripsi. Portal berita lainnya menyebut karena RS kedapatan bertindak mesum dengan pacarnya, sang dosen memergoki. Panik, RS nekat membunuh dosen.
Ragam komentar netizen berseliweran tanpa menunggu kronologis kasus dari otoritas tertentu, dalam hal ini kepolisian yang melakukan penyelidikan. Sang mahasiswa dihujat habis-habisan dan disebut layak dibunuh. Ada pula yang dengan cepat menuding dosen dengan label killer karena memperlama proses skripsi.
Adil Sejak dalam Pikiran
Agaknya saban hari ada rupa-rupa kasus yang kita anggap butuh respons cepat dari kita untuk dikomentari. Tak ayal beranda laman-laman media sosial yang kita miliki berisi aneka komentar super cepat atas suatu kasus atau peristiwa aktual.
Kemampuan primitif diejawantahkan begitu cepat, seolah takut ketinggalan. Mengabaikan cek dan ricek. Seakan tak memedulikan akibat dari respons yang diunggah di media sosial yang dimiliki. Komentar tanpa dasar argumentasi yang kuat dianggap tak mengapa, asalkan cepat bereaksi.
Alangkah arifnya bila menggunakan kemampuan untuk memilih, ruang bebas yang kita miliki di antara aksi dan reaksi. Memahami satu kasus dari berbagai arah. Mengidentifikasi, menganalisa atau menalar dengan cek dan ricek, lalu mentransformasikannya dalam suguhan solusi atas fenomena atau kasus tersebut.
Pramoedya Ananta Toer pada Bumi Manusia, bagian dari Tetralogi Pulau Buru melukiskan kemampuan memilih ini dengan,“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Adil sejak dalam pikiran akan menuntun manusia menelaah fenomena. Menelusuri akar masalah dan apa solusi yang bisa dijadikan bagi realitas problem tersebut. Hujatan secepat kilat hanya dimungkinkan muncul karena pemahaman problem sebatas di “permukaan”.
Reaksi cepat atas suatu aksi dengan menuliskan asumsi di media sosial hanya menambah gejolak. Alih-alih jernih, kian bertambah keruh. Bahkan memunculkan problem baru pula. Adil sejak dalam pikiran akan mematangkan kemanusiaan. Dengan demikian pula antar-individu saling mematangkan, membangun adab bukan menimba biadab dengan kebiadaban baru meski dalam rupa kata-kata. Bukankah kata-kata juga lebih tajam dari pedang?
Salam Kemanusiaan.
Medan, 3 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H