"Terkadang seseorang yang selalu di anggap keji, masih membuahkan kebajikan walau jarang dipuji"
Aku berdiri di atas trotoar basah. Di bawah halte yang di apit kedua lampu jalanan yang sedang bermesraan tanpa jas hujan. Jalanan ini sudah terbiasa sepi, jarang sekali kendaraan atau pejalan kaki yang lalu-lalang melintasi jalan diatas jam 9 malam.
Mungkin ada beberapa, pedagang kaki lima yang sedang berteduh atau bahkan memang tinggal dibawah jembatan, didepan halte sepi ini. Mereka merebah dengan mengenakan sehelai kardus dan daun-daun kering yang gugur ketika hujan berpaling lama untuk tidak menyiramnya.
Di jalan ini aku tidak melihat tanda nama. Kesekian aku melirik berbagai arah, tetap saja hujan dan kesunyian jalan yang kutatap.Â
Aku hendak berpikir untuk memberi tempat ini nama, tetapi aku bukanlah orang yang pertama berdiri di halte ini. Bisa saja mereka yang tertidur, yang lebih dulu menempati tempat ini.Â
Sedang aku, baru kali ini dan mungkin hanya beberapa kali ke depan atau tidak sama sekali. Jadi apa arti pemberian nama dariku untuk tempat ini, jika aku tidak menetap di ruang ini.
Beberapa menit kemudian. Setelah langit telah meredakan tangisnya dengan segumpal angin dan beberapa pohon yang jatuh. Aku melihat seorang perempuan berjalan ke arahku.Â
Wajahnya samar, aku tidak bisa melihat apa ia benar-benar menangis atau hanya sisa-sisa tetesan hujan yang membasahi kedua pipinya.
Aku merasakan tubuhnya yang menggigil terlapis dengan pakaian basah, dan kulit-kulitnya yang keriput juga kaki telanjang tanpa alas. Ternyata ia kehujanan, bukan menangis atau bermandian dengan air matanya sendiri.Â
"Kau adalah lelaki pertama kali yang kulihat betah berdiri dihalte ini sendiri," ujar perempuan itu tanpa permisi. Suaranya agak serak, wajahnya anggun dengan beberapa helai rambut basah yang menutupi wajahnya. Ditambah bibirnya yang kecil sedang keriput berwarna ungu.
"Jangan berjalan sendiri jika kau adalah lelaki lajang, banyak halte lain untuk berteduh."