"Sebuah hal yang salah akan menjadi sebuah kebenaran, jika
dilakukan berulang kali dan melibatkan banyak orang."
Kampus dikenal sebagai ladang ilmu pengetahuan dan tempat pembentukan moralitas dan etika. Di tempat ini, para civitas academica dituntut untuk selalu menjunjung tinggi integritas akademik demi menjaga fondasi kepercayaan dan masa depan pendidikan. Di lingkungan kampus, nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab menjadi kompas moral yang akan mengarah pada pencapaian ilmu pengetahuan yang bermartabat. Secara fundamental, seperti itulah idealnya bagaimana kehidupan kampus berjalan. Namun, realitas di lapangan tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis di peraturan akademik dan statuta perguruan tinggi.
Salah satu perbuatan yang dapat mencederai integritas di dunia akademik adalah gratifikasi, yang dapat menjadi pintu gerbang praktik suap dan korupsi. Secara sederhana, gratifikasi dapat diartikan sebagai pemberian uang, barang, atau bentuk lainnya, yang bertujuan untuk mencari keuntungan pribadi. Praktik gratifikasi masih dapat dengan mudah kita temui di beberapa kampus di Indonesia, tumbuh subur dan bertahan menjadi sebuah tradisi. Gratifikasi di lingkungan kampus hadir dalam berbagai rupa dan tujuan. Pihak yang paling rentan terlibat dalam praktik gratifikasi di lingkungan kampus adalah dosen dan mahasiswa.
Bentuk gratifikasi yang melibatkan dosen dan mahasiswa di lingkungan kampus bermacam-macam. Biasanya praktik gratifikasi tersebut tidak banyak yang menyadari sebagai sebuah gratifikasi, melainkan lebih kepada sebuah tradisi. Padahal, larangan gratifikasi secara jelas telah diatur dalam Pasal 2B ayat (1) UU No.20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak diperbolehkan menerima suatu pemberian apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Selain itu, banner bertuliskan "Zona Integritas, Tolak Gratifikasi" telah banyak dipajang di setiap sudut jurusan/fakultas sebagai langkah preventif mencegah gratifikasi.
Salah satu praktik yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi di lingkungan kampus adalah pemberian parcel, konsumsi, dan amplop pada saat pelaksanaan ujian skripsi. Sebagai mahasiswa semester akhir, saya turut serta menyaksikan bagaimana tradisi ini dilakukan. Lazimnya, mahasiswa ketika ingin melakukan seminar proposal, seminar hasil, dan ujian skripsi "harus" menyediakan paket konsumsi bak sesajen untuk dihidangkan kepada dosen penguji, dosen pembimbing, dan staf administrasi. Menurut kesaksian beberapa teman di fakultas yang berbeda, mereka bahkan memberikan uang tunai dengan jumlah yang entah siapa yang menentukan standar nominalnya.
Dalam menyikapi hal ini, mahasiswa memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang setuju-setuju saja karena menganggap hal tersebut sebagai bentuk apresiasi dan ucapan terima kasih kepada para dosen dan pihak lain yang turut membantu terlaksananya sidang. Ada juga yang berpendapat bahwa penyediaan konsumsi dan berbagai bentuk pemberian tidak semestinya dibebankan kepada mahasiswa. Pasalnya, melakukan pengujian terhadap tugas akhir (skripsi) mahasiwa sudah menjadi tanggung jawab dosen dan memberikan pelayanan administratif tanpa pamrih adalah tugas dari seorang staf.
Mahasiswa menyediakan konsumsi ketika ujian skripsi memang tidak diwajibkan dan tidak ada aturan tertulis yang mengharuskan mahasiwa melakukan hal tersebut. Mungkin mahasiswa yang pertama kali melakukan hal demikian hanya inisiatif belaka tanpa ada maksud untuk  "meluluhkan hati dosen". Seiring berjalannya waktu, praktik ini menjelma menjadi sebuah budaya yang berpotensi melukai integritas akademik. Sebuah penistaan terhadap nilai-nilai luhur pendidikan dan ancaman akan lahirnya generasi bermental korup.
Budaya pemberian parcel, paket konsumsi, dan bentuk seserahan lain dapat membuat dosen kehilangan prinsip objektivitas dan imparsialitasnya. Budaya ini memang tidak diatur secara jelas, tapi bagaimana jika ada mahasiswa yang tidak melakukan budaya tersebut? Apakah penilaian dosen atau pelayanan staf masih tetap sama? Alhasil, mahasiswa yang tidak setuju dengan praktik ini secara terpaksa harus mengikut demi kelancaran proses kelulusan. Jika ingin melakukan pengaduan pun rasanya percuma, karena pimpinan seolah-olah melakukan pembiaran terhadap budaya ini.
Di saat mahasiswa harus menyusun skripsi dan mengurus berkas administrasi, maka di saat yang bersamaan mereka juga disibukkan dengan urusan non teknis, yaitu menyiapkan sesajen di meja hijau. Persoalan ini sebenarnya telah lama menjadi perbincangan, akan tetapi hanya sebatas obrolan yang tak kunjung menemukan penyelesaian. Pihak kampus adalah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan gratifikasi seperti ini. Namun, jika tidak ada kebijakan dan sikap yang ditunjukkan cenderung apatis, maka sudah seharusnya mahasiswa secara kolektif melakukan gerakan demi menghilangkan praktik-praktik yang tidak etis.