Bila dalam satu forum rapat kerja terdapat lima pejabat dengan bahasa daerah yang berbeda dan tidak saling memahami kemudian mereka menggunakan bahasanya masing-masing, bayangkan saja apa yang terjadi. Dipastikan terjadi kesalahpahaman. Ihwal semacam inilah bahasa Indonesia hadir sebagai pemersatu seperti yang tertuang dalam kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Maraknya fenomena campur kode (penggunaan dua bahasa atau lebih dalam satu kalimat atau tuturan) atau istilah anak muda "keminggris", bukan saja terjadi pada remaja, tetapi juga pada pejabat-pejabat kita, termasuk Arteria.
Arteria, di satu sisi dia mengeritik orang "ngomong pakai bahasa Sunda", di sisi lain dia menggunakan satu kata berbahasa Sunda "ujug-ujug" (tiba-tiba/sekonyong-konyong) dalam tuturannya. Ini yang pandangan saya, konteks tuturan Arteria yang menjadi kontroversial itu mengadung kebenaran bila mencermati undang-undang, tapi dia sebagai pejabat pun termasuk melangkahi undang-undang tersebut.
Campur kode atau menggunakan bahasa daerah sepenuhnya di dalam forum resmi lembaga negara seperti Kejaksaan sama hal dengan mempersempit ruang hidup bahasa Indonesia. Forum resmi adalah ranahnya bahasa Indonesia, dan justru itulah penutur wajib menggunakannya. Bahasa daerah punya ranahnya sendiri yang telah diatur dalam kedudukan dan fungsi bahasa daerah.
Berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta sesuai dengan ranannya berarti  mencintai NKRI, menghormati pejuang bangsa yang memperjuangkan bahasa Indonesia, dan menjunjung identitas bangsa Indonesia. Ini yang perlu diimplementasikan. Hanya saja, kadang pejabat kita ini sudah tak benar dan tak baik, ditambah pula tak menghormati pula bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H