Film Bumi Manusia tayang perdana pada kamis (15/8/2019). Saya tidak melewati kesempatan ini. Pukul 19.00 saya sudah menuju ke Bioskop memesan tiket meskipun waktu tayang pukul 21.00 WIB.
Yang ada dalam pikiran saya ketika menonton film Bumi Manusia adalah sebuah pertanyaan: bagaimana sosok dan karakter tokoh. Tentu penasaran, apalagi novel Bumi Manusia sudah berulang kali baca.
Setelah melewati durasi tiga jam penayangan, saya menemukan hal menarik dari berbagai perspektif setiap tokoh beserta karakternya. Tetapi, pada tulisan ini saya tertarik membahas Nyai Ontosoroh dari segi "transformasi"
Transformasi dimaknai sebagai perubahan rupa: bentuk, sifat, dan fungsi (KBBI). Pembahasan tranformasi sering muncul dalam kajian sastra feminis. Tranformasi menandai kebangkitan perempuan dari ketertindasan menuju perlawanan. Perempuan yang dulunya lemah dan kolot, berubah menjadi cerdas dan kuat. Itulah transformasi.
Nyai Ontosoroh sebagai Sanikem
Dalam novel Bumi Manusia, kita tahu, Nyai Ontosoroh dahulunya bernama Sanikem. Nama Sanikem merupakan penjelmaan perempuan Jawa yang terkurung dalam tradisi dan norma sosial. Pertama, dia tidak bisa keluar rumah tanpa seizin Satrotomo, ayahnya. Kedua, dia tidak memiliki hak menentukan laki-laki untuk mengawininya. Dalam hidup, Sanikem tidak memiliki kehendak apapun termasuk kehendak atas dirinya. Semuanya diatur orang tuanya. Fase ini adalah fase marjinalisasi, inferioritas, dan subordinasi yang diterima oleh Sanikem.
Transformasi Nyai Ontosoroh
Transformasi muncul ketika Sanikem dipaksa kawin dengan Herman Mellema oleh Ayahnya karena nafsu jabatan. Perkawinan ini kemudian nama Sanikem berubah menjadi Nyai Ontosoroh. Menyandang nama "nyai" tentu bukan harapan hidup yang baik. Karena dalam sejarah status seorang "nyai" adalah perempuan gundik yang dipelihara oleh pejabat atau majikan Belanda sebagai pelampiasan nafsu tanpa perkawinan sah. Karena tidak sah, seorang nyai akan ditinggalkan kapan saja setelah majikan merasa puas. Sifat dan karakter "nyai" sebagai gundik adalah kolot, kotor, bodoh, dan pasrah. Tetapi, Nyai Ontosoroh justru menerobos semua itu melalui tranformasinya. Tranformasi Nyai adalah pertama, cara berpakain dan berhias ala eropa. kedua, menjunjung tinggi pengetahuan melalui bacaan dan menulis bahasa Belanda. Ketiga memperteguh sikap kemandirian, keberanian dan kepribadian yang tegas. Satu hal yang tidak dilupakan adalah meskipun Nyai Ontosoroh  menjelma sebagai perempuan modern ala eropa tetapi tidak pernah melupakan asal usulnya sebagai pribumi. Dari Sanikem yang kolot, kotor, serba menerima, bertransformasi menjadi Nyai Ontosoroh yang cerdas, bersih dan rapi, dan berkepribadian keras dan berani.
Nyai Ontosoroh dalam Film
Lalu bagaimana dengan Nyai Onstoroh dalam film Bumi Manusia. Dalam film, Nyai Ontosoroh muncul pertama dalam adegan ketika menyalami Minke di rumah Buitenzorg. Di sini status dan posisi Nyai sudah bertransformasi. Dia bukan lagi Sanikem, melainkan perempuan cerdas dalam mengatur perusahaan dan berkepribadian tegas dalam berkomunikasi.
Pada adegan itu, Nyai memperlihatkan sikap "dinginnya" menemui Minke. Tetapi pada adegan lain, tranformasi Nyai justru tidak tampak tegas dan kuat. Misalnya adegan ketika Nyai memerintahkan  anaknya, Robbert Mellema menyelidiki sebab Minke dijemput polisi,  Nyai justru "menangis". Padahal sikap Nyai tidaklah demikian. Nyai tidak pernah menangis dan tidak pernah menyesal berhadapan dengan perilaku anaknya yang tidak mengakuinya sebagai ibu lantaran berdarah pribumi. selain itu, ketegasan dan kekuatan Nyai tidak  terlihat sebagai perempuan intelektual. Nyai begitu lunak, bahkan pasrah dalam melawan. Perlawanan Nyai hanya terlihat ketika berhadapan dengan pengadilan Belanda. Di sini Nyai begitu tegas dalam mempertahankan haknya. Â