Melalui wawancara singkat di youtube Seno Gumira Ajidarma mengatakan dunia sastra Indonesia masih romantik. Pernyataan itu sulit dinafikan.
Penciptaan sastra Indonesia modern yang beredar masih berkutat pada keindahan, keromantisan, percintaaan. Orang sibuk berdebat apakah indah atau tidak, romantis atau tidak. Bahkan munculnya puisi kontroversial Sukmawati Soekarno Putri berjudul Ibu Indonesia orang berdebat apakah itu sastra atau bukan: pandangan terlampau struktural-formalis yang kuno untuk diperdebatkan.
Tetapi anehnya ke-kuno-an itu justru dipertahankan. Di sayembara, kita akan dikoreksi kesalahan penempatan kata dan pemilihan kata yang justru tidak relevan dengan penilaian sastra. Pengoreksian seperti itu, Sutardji Calzoum Bachri sekalipun tidak akan lolos dengan gaya puisi yang mementingkan tipografi.
Puisi-puisi romantik ataupun roman picisan menumbuhkan faedah keromantisan yang merangsang gairah pembaca dengan keindahan, tetapi perlahan menurunkan derajat sastra dan dengan sendirinya mengesampingkan sastra dari kehidupan sosial.
Ketika Seno Gumira Ajidarma diundang salah satu televisi nasional membahas cerpen "Senja Untuk Pacarku" tanpa ditanyakan dengan gamblang Seno dengan spontan menegaskan "cerpen itu bukan tentang cinta melainkan senja".
Nampaknya Seno menghindari percintaan sebagai unsur utama dalam cerpennya. Tentu saja, cinta bukanlah tujuan, melainkan cara untuk sampai pada tujuan. Hanya pembaca kelebihan "baper" yang mengatakan "bukan senja melainkan cinta".
Sutradara film Bumi Manusia, Hanung Bramantyo mengatakan roman pertama Tetralogi Pulau Buru itu intinya soal cinta antara Minke dan Annelies. Apakah Hanung kelebihan "baper" dengan ciuman Minke dan Annelies sehingga lupa bahwa Tetralogi Pulau Buru adalah roman sejarah atau-kah dia mengetahui  dan sengaja mengubah pikiran kalayak dari roman sejarah ke roman picisan demi kepentingan komersialisasi.
Sastra sebagai keindahan, percintaan, keromantisan yang terdokrinasi dalam pikiran pembaca hari ini adalah semata-mata hiburan; menghibur diri di waktu senggang, menghibur diri ketika dikecewakan. Jika sastra serupa perempuan, ia hanya pelacur yang mengisi waktu senggang lelaki hidung belang. Sastra sebagai hiburan berakhir dalam kuburan modernitas.
Pemikiran Pramoedya
Melalui artikel berjudul "Defenisi dan Keindahan dalam Kesusasteraan" 1952, Pramoedya menolak nilai sastra demi keindahan semata. Keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, dan idealisme lebih penting bagi manusia ketimbang keindahan (Scherer, 2019).
Perempuan dan (jatuh) cinta adalah anonimitas yang kerap menjadi bahan cerita dalam penulisan sastra dari zaman ke zaman. Dan adat-tradisi menjadi pilihan konflik untuk membenturkan serta meretakan hubungan para tokoh.