Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

“Surat Curhat” Gubernur Aceh ke Uni Eropa

18 Juni 2014   18:37 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:15 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14030660251847890799

[caption id="attachment_311692" align="alignnone" width="582" caption="Gambar Ilustrasi (https://www.flickr.com/photos/atjeh_group/14302386644/in/photostream/)"][/caption]

Dua hari Lalu, setidaknya 9 Dubes asing Negara-Negara Uni Eropa berkunjung ke Aceh dengan tujuan membicarakan aturan turunan UUPA yang hingga kini masih terhambat di Pemerintah Pusat. Kunjungan para Dubes EU tersebut berkaitan dengan “surat ultimatum” Gubernur Zaini Abdullah kepada Pemerintah Pusat terkait perpanjangan masa cooling down Qanun Lambang dan Bendera Aceh. Yang menjadi luar biasa adalah surat tersebut juga dikirimkan kepada Maarti Ahtasaari dan Uni Eropa untuk memperoleh perhatian khusus terhadap Aceh.



Isi surat Gubernur Aceh berintikan perpanjangan masa cooling down yang diajukan Pemerintah Pusat yang berakhir 16 Juni lalu dimana Gubernur Zaini memberikan persetujuan bersyarat di antaranya; pembahasan segera kewenangan Pemerintah yang bersifat Nasional di Aceh; rancangan peraturan pemerintah tentang pengelolaan bersama minyak dan gas bumi di wilayah kewenangan Aceh; dan Peraturan Presiden tentang pengalihan kantor wilayah badan pertanahan nasional Aceh dan kabupaten untuk menjadi Perangkat Aceh dan perangkat kabupaten.



Kondisi ini merupakan babak baru dalam pengambilan sikap Pemerintah Aceh atas perpanjangan masa cooling down terkait qanun lambang dan bendera Aceh yang terus tertunda pengesahannya. Di atas dijelaskan dengan gamblang bagaimana Pemerintah Aceh “menekan” Pemerintahan SBY untuk memenuhi janjinya menuntaskan perbagai persoalan yang belum selesai di Aceh sebelum masa jabatan kepresidenannya habis Oktober mendatang.



Sementara itu, masa cooling down yang digagas Pemerintah Pusat sendiri juga bagi saya semakin mempertegas keragu-raguan Pemerintah Pusat dalam mengambil sikap hingga akhirnya “keduluan” dengan Pemerintah Aceh. Perpanjangan cooling down dilakukan karena belum adanya kesepahaman dalam melihat lambang dan bendera Aceh. Pemerintah bersikeras tidak menyetujui Bendera GAM untuk menjadi bendera Aceh (MoU Helsinki dan UUPA) sementara Pemerintah Aceh berpendapat lambang dan bendera tersebut sah karena sudah melalui persetujuan DPRA.



Jika melihat aturan dan hukum, tentu Pemerintah Pusat sangat jelas sikapnya dalam memandang persoalan ini, di lain pihak, Pemerintah Aceh juga bersikeras mempertahankan Bendera GAM karena sudah melalui mekanisme DPRA meskipun menabrak aturan dan hukum RI. Yang lebih menarik lagi adalah reaksi UE setelah memperoleh surat Gubernur Aceh tersebut. Saya melihat reaksi UE dalam persoalan Aceh ini bukan semata-mata tanpa kepentingan, di tengah kondisi perekonomian UE yang morat marit. UE melihat Aceh sebagai “lahan” perawan yang siap untuk dibuahi. Sementara Gubernur Zaini dengan polosnya menganggap UE sebagai “bapak angkat” yang berperan besar dalam perundingan damai 2005.



Perlu dipahami, “national interest” selalu menjadi prioritas dalam mengambil setiap kebijakan, dan bagi negara-negara yang sudah cukup mapan dalam berdemokrasi dan bernegara, UE melihat Aceh sebagai bagian dari “national interest”nya. Meskipun performa Pemerintah Aceh dinilai sangat buruk. Note Paper Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Marty Ahtisaari April tahun lalu, yang menyebutkan bahwa perkembangan Aceh di bawah kepemimpinan GAM menunjukkan iklim politik yang merugikan bagi demokrasi, dimana Partai Aceh (PA) yang menjadi partai pemerintah ternyata masih dipengaruhi perilaku politik kekerasan yang cenderung militeristik. Bahkan CMI merekomendasikan kepada negara-negara Uni Eropa untuk menunda segala bentuk bantuan kepada Aceh hingga Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan GAM merubah gaya kepemimpinannya.



Performa Pemerintahan Aceh yang buruk ini, dijadikan peluang bagi UE untuk kembali memperoleh lahan baru bagi peningkatan perekonomiannya yang tengah terpuruk. Pertanyaanya sekarang adalah, sadarkah Pemerintah Aceh akan hal itu? Saya menduga Zaini tidak sepintar itu untuk menyadarinya.

Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dalam hal ini perlu melakukan langkah-langkah kongkrit untuk mencegah campur tangannya pihak asing dalam persoalan lokal seperti yang terjadi di Aceh. We need to keep local matters localized, begitu kata orangpintar. Semuanya bisa dimulai dengan KETEGASAN bersikap.



Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun