[caption id="attachment_280188" align="aligncenter" width="576" caption="Sumber: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/06/13405084391302203678.jpg"][/caption]
Ribut-ribut soal rencana pengukuhan Wali Nanggroe Aceh yang berbiaya fantastis hingga 50 milyar rupiah disertai pesta tujuh hari tujuh malam dengan mengundang ribuan tamu para raja dan Sultan di seluruh dunia sungguh sempat menjadi berita paling menghebohkan tidak saja di Aceh tetapi juga di seluruh Indonesia.Hal ini saya tuliskan dalam artikel saya sebelumnya di forum ini, baca di sini.
Kehebohan berita tersebut pun hingga kini masih terasa gaungnya di Aceh, dimana masyarakat Aceh melihat persoalan ini dari berbagai sudut pandang, tidak hanya secara politis dimana terdapat keterlibatan DPRA di sana, maupun birokrasi dimana Gubernur Aceh “sempat” mengaku adanya ketersediaan dana yang diusulkan oleh DPRA asal Fraksi Partai Aceh (PA) namun juga masyarakat melihatnya dari sudut pandang sejarah Aceh yang pernah harum karena tingginya nilai-nilai budaya dan adat istiadat islami yang membesarkan Kesultanan Aceh pada masanya, yang menyisakan pertanyaan siapa sebenarnya Wali Nanggroe Aceh pertama?
Dalam sejarahnya,ada dua orang yang pernah mengemban jabatan sebagai Wali Nanggroe Aceh, yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda dan Syaikh Abdur Rauf Al-Singkili. Menurut cerita, dikisahkan awal Tuanku Hasyim Banta Muda menjabat sebagai Wali Nanggroe Aceh disebabkan adanya kebutuhan kesultanan pada masa itu karena keturunan Sultan langsung/putra mahkota masih berusia sangat muda (Sultan Alauddin Mahmud Syah). Para pejabat kesultanan ketika itu, mendesak Banta Muda untuk mengambil alih kepemimpinan kesultanan Aceh dengan menobatkan dirinya sebagai Sultan karena Belanda pada masa itu tengah menyiapkan ekspansinya ke wilayah Kesultanan Aceh. Dalam keadaan genting tersebut, dengan bijak oleh Tuanku Hasyim Banta Muda dengan menyampaikan alasan bahwa ia bukanlah keturunan langsung Kesultanan Aceh, sehingga ia merasa tidak berhak. Namun demikian, ia berjanji bahwa ia akan membantu Sultan belia tersebut untuk menjalankan tugas-tugasnya sampai dengan Sultan cukup usia. Singkat cerita, Tuanku Hasyim Banta Muda ketika itu dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe Aceh pertama oleh Sultan Aceh. Akhirnya Belanda di bawah kepemimpinan Van Swieten berhasil merebut Istana di Kutaraja / Banda Aceh (lokasi Pendopo Gubernur Aceh sekarang dan sekitarnya) pada 24 Januari 1874. Hasyim Banta Muda bersama kesultanan Aceh melakukan perlawanan baik secara politik maupun jalan perang. Tentu kepemimpinan Wali Nanggroe Aceh pertama ini dikenal di seantero negeri dan menjadi inspirasi para tokoh-tokoh perlawanan Aceh setelah itu seperti Teuku Umar, Cik Di Tiro, hingga Cut Nyak Dien. (Sumber).
Sekilas sejarah di atas, memberikan makna kebesaran jiwa dan kecintaan serta patriotisme seorang Wali Nanggroe yang hingga akhir hayatnya setia mengabdi kepada Sultan Aceh. Padahal, pada situasi genting seperti itu, bagi kebanyakan orang mungkin merupakan waktu yang tepat bagi dirinya mengambil alih kekuasaan. Hal tersebut juga dipertanyakan oleh seorang perwira Belanda JB Van Heutsz dalam karyanya De Onderwerping van Atjeh, 1897, yaitu mengapa Tuanku Hasyim tidak menjadi dirinya Sultan Aceh dalam keadaan seperti itu apabila dilihat dari segi ketatanegaraan (hlm. 50-51).
[caption id="attachment_280190" align="aligncenter" width="565" caption="Sumber: http://2.bp.blogspot.com/-wRHjQ59nu6Q/UKMIJgHWeXI/AAAAAAAACmo/C8dvz5UTcyE/s1600/141112foto_2.jpg"]
Namun demikian, perjalanan sejarah Aceh yang penuh ketauladanan tersebut di atas tampaknya harus tergerus oleh jaman dan nafsu kekuasaan. Ketika Wali Nanggroe ke-9 Malik Mahmud Al-Haytar ditetapkan oleh DPRA dan dilansir oleh sejumlah media-media lokal, urut-urutan Wali Nanggroe tidak satupun menyebutkan nama Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Wali Nanggroe pertama, melainkan justru Tengku Cik Di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah, dan berikutnya secara berurutan ke bawah semua keturunan Cik Di Tiro.
Di sinilah timbul pertanyaan-pertanyaan dari saya kepada khalayak pakar sejarah Aceh, dimana letak kebenaran sejarah Aceh? Dan adakah dokumen-dokumen yang melandasi urut-urutan Wali Nanggroe sebagaimana yang telah dilansir media-media lokal tersebut? Jika memang terdapat kesalahan, mengapa Pemerintah Aceh tidak melakukan perbaikan dan pelurusan sejarah Aceh?
Saya berharap bahwa persoalan-persoalan sejarah Aceh ini sangat perlu diluruskan, agar tidak lagi terjadi pengelabuhan dan penyesatan sejarah yang nantinya dikhawatirkan dapat menjerumuskan generasi muda Aceh yang sesat akan sejarahnya sendiri.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H