[caption id="attachment_309785" align="alignnone" width="636" caption="https://www.flickr.com/photos/atjeh_group/14040708482/"][/caption]
Pertengahan Mei lalu, Komisi Independen Aceh (KIP) Aceh menetapkan calon terpilih DPRA periode 2014-2019 hasil pemilu legislatif 9 April 2014 lalu. Terdapat 81 nama yang disebutkan KIP Aceh untuk menduduki kursi DPRA yang akan datang dimana Partai Aceh (PA) memperoleh kursi terbanyak dengan 29 kursi disusul Partai Golkar 9 kursi dan Partai Nasdem dan Demokrat yang memperoleh masing-masing 8 kursi.
Dengan hasil ini, tentunya sudah dapat dipastikan Partai Aceh akan kembali menempatkan kadernya untuk duduk di kursi Ketua DPRA yang akan datang, menggantikan Ketua DPRA yang lalu, Hasbi Abdullah yang tidak mencalonkan lagi. Kemenangan PA dalam pileg lalu, memang sudah diprediksi oleh banyak pihak, namun jauh meleset dari ekspektasi PA. Sebelumnya Muzakkir Manaf, Ketua PA sekaligus Wakil Gubernur Aceh sempat menyatakan PA akan memperoleh 80 % suara rakyat Aceh (http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/04/11/n3v6n0-partai-aceh-klaim-raih-kemenangan-70-persen-suara). Namun pada kenyataannya, suara PA menurun drastis dari perolehan suara pileg 2009 lalu, dimana PA memperoleh 46,93% suara atau 1.007.173 suara sehingga memperoleh 33 kursi dari 69 kursi DPRA. Tahun ini, pada pileg lalu perolehan suara PA jauh meleset dari yang diharapkan yaitu, 786.015 suara atau sebesar 23,71% suara yang berimplikasi pada penurunan jumlah kursi DPRA yang justru bertambah dari 69 kursi menjadi 81 kursi, PA "hanya" memperoleh 29 kursi DPRA.
Kemenangan Kecil, Kekalahan Besar
Kondisi ini perlu menjadi evaluasi mendalam dan meyeluruh bagi partai yang digawangi oleh para elit GAM tersebut, dimana penurunan suara ini menunjukkan betapa rakyat Aceh sudah semakin dewasa dalam menentukan pilihan demi masa depannya. Jumlah suara yang diperoleh Partai Aceh tersebut pada pileg ini bisa jadi jauh berkurang apabila kecurangan-kecurangan sepanjang pemilu diungkap (http://www.acehvideo.tv/2014/04/aktivis-beberkan-kecurangan-partai-aceh.html). Demikian pula partai-partai yang terlibat dalam pileg lalu mengajukan protes ke MK atas kecurangan yang terjadi, tercatat 8 partai mengajukan protes dan gugatan ke MK. Memang "kemenangan kecil" PA ini patut dirayakan namun bagi saya ini juga merupakan "kekalahan besar" bagi partai yang memiliki akar sampai ke seluruh pelosok Aceh.
Penurunan suara (penurunan kepercayaan rakyat) ini buat saya dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti performa buruk yang ditampilkan oleh para wakil rakyat asal PA maupun pemerintahan Aceh. Janji-janji yang tidak tuntas dan dugaan aksi teror dan intimidasi yang melibatkan oknum PA menjadikan rakyat Aceh muak atas kiprah partai berbasis eks kombatan GAM tersebut. Rakyat Aceh juga dikecewakan dengan kinerja para wakil rakyat lalu yang hanya menyelesaikan 3 qanun (penanaman modal, penggunaan dana otsus dan lambang bendera Aceh) dari 21 qanun yang diprioritaskan. Sementara birokrasi pemerintah Aceh di bawah "Zikir" pun dianggap gagal memenuhi 21 janji yang dikampanyekan. Tidak ada kesejahteraan, tidak ada peningkatan ekonomi, tidak ada naik haji gratis dan tidak ada pendidikan gratis dll.
Evaluasi dan Perubahan
Meskipun menang dalam pileg lalu saya menilai kemenangan PA ini hanyalah "kemenangan kecil" dengan "kekalahan besar", dimana penurunan kepercayaan rakyat membuktikan "kekalahan besar" tersebut. Seorang tetangga saya sempat menyeletuk" curang saja menang cuman segitu". Oleh karenanya, PA perlu melakukan evaluasi dan perubahan secara jelas untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Hal itu dapat dimulai dengan menempatkan kader yang tepat untuk menduduki kursi Ketua DPRA. PA perlu hati-hati dalam menunjuk salah satu dari 29 wakilnya di DPRA. Bagi saya, penunjukan "incumbent" sebagai Ketua DPRA hanya akan semakin menenggelamkan bahtera PA ke jurang yang lebih dalam, mengingat kegagalan DPRA lalu yang memuakkan masyarakat. Nama-nama seperti Abdullah Saleh, Nurzahri, ST, Ridwan Abu Bakar bagi saya merupakan kartu mati dengan mengingat kiprahnya yang nol besar pada periode lalu. Menurut saya PA harus berani menempatkan orang-orang "baru" yang tidak hanya memiliki komitmen yang kuat kepada Partai namun juga memiliki empati yang besar kepada rakyat Aceh. Saya mencatat beberapa nama yang memiliki track record yang bersih dan memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat seperti Muhammad Amru dan Kautsar. Muhammad Amru adalah mantan Ketua DPRK Gayo Lues 2009-2011, sempat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh tahun 2001 dan memiliki dukungan suara yang cukup masive (13.328 suara). Setidaknya, pemilihan Muhammad Amru akan memberikan harapan kembalinya kepercayaan masyarakat Gayo terhadap pemerintahan Aceh. Selanjutnya, Kautsar, S.Hi, dapat mewakili harapan para pemilih muda di Aceh. Komitmennya terhadap rakyat Aceh tidak perlu diragukan lagi. Sebagai aktivis, ia tidak henti-hentinya menyuarakan kepentingan rakyat Aceh melalui berbagai organisasi kemasyarakatan mulai dari Aceh, Medan, Yogyakarta hingga ke Geneva dan Denmark. Mungkin masih banyak lagi calon potensial lainnya yang punya komitmen besar kepada rakyat Aceh, namun setidaknya dua nama di atas memiliki track record yang paling baik.
Ini adalah salah satu kunci untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Aceh kepada Partai Aceh yang tengah tenggelam akibat pembusukan dari dalam yang dilakukan oleh oknum-oknumnya. Penunjukan orang-orang baru dan figur yang tepat serta berkomitmen besar kepada rakyat Aceh sebagai Ketua DPRA yang akan datang, bisa menjadi langkah awal perubahan PA yang tidak lagi berkutat pada kepentingan diri sendiri dan egosentris partai, namun lebih kepada keberpihakannya kepada rakyat Aceh.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H