[caption id="attachment_307710" align="aligncenter" width="480" caption="http://i1.ytimg.com/vi/0Xnd-YDM9dI/0.jpg"][/caption]
Pagi ini, Koran Tempo memberitakan perkembangan terkini terkait aksi terorisme di Aceh jelang pemilu legislatif 9 April lalu. Yang miris dari berita tersebut adalah adanya keterlibatan aparat keamanan dalam kasus penembakan Caleg di Aceh. Berita berjudul "Dua Oknum Polisi Diduga Penembak Caleg di Aceh" seolah menimbulkan stigma negatif terhadap aparat keamanan yang bertugas di Aceh dan menggiring opini publik betapa rentannya mental para aparat ini.
Peristiwa penembakan terhadap caleg Partai Nasional Aceh, Faisal 44 tahun pada 2 Maret 2014 lalu, memang menjadi perhatian publik tidak hanya lokal namun juga nasional. Disebutkan bahwa otak pembunuhan tersebut adalah Teuku Barmawi, pimpinan Dayah Al Mujahadah dengan eksekutor seorang oknum polisi berpangkat brigadir yang melakukan tembakan secara beruntun ke arah kendaraan yang ditumpangi Faisal di Kawasan Pegunungan Tuha Ladang, Meukek, Aceh Selatan. Pelaku lainnya Muhammad Yahya selaku pengemudi kendaraan eksekutor, Usman sebagai pemantau, Nasir sebagai pembawa senjata cadangan dan Sina pengintai rumah korban serta seorang oknum polisi lainnya Brigadir Alhadi yang kesemuanya merupakan jemaah Al Mujahadah pimpinan Teuku Barmawi.
Tragedi ini bukan yang pertama kalinya melibatkan aparat keamanan yang terjadi jelang pileg lalu. Sebelumnya penyerangan terhadap Posko Partai Nasdem pun melibatkan seorang aparat TNI Praka Heri Safitri yang meminjamkan senjatanya bagi pelaku penyerangan.
Dua peristiwa kriminal (apabila kita enggan menyebutnya sebagai aksi teror) yang melibatkan aparat keamanan ini menunjukkan betapa rentannya aparat keamanan yang diamanahi oleh rakyat berupa senjata untuk menjaga keamanan rakyat bukan justru menembakinya. Apalagi motif dari peristiwa itu adalah faktor ekonomi sehingga mudah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politik yang kala itu marak terjadi.
Memang gaji TNI/Polri yang terbilang "sedikit" lebih tinggi dari UMR ini kerap menjadi alasan kerentanan mental prajurit sehingga mudah terbuai dengan iming-iming sejumlah uang tambahan. Namun buat saya persoalannya tidak sesederhana itu. Mentalitas dibangun bukan didasarkan pada kebutuhan primer dan sekunder semata, namun lebih kepada sikap hidup sebagai orang yang dipilih untuk menjadi abdi negara. Sikap ini dibangun ketika masa-masa para aparat kemanan ini diseleksi, dipilih dan dilatih serta diperlengkapi oleh negara.
Proses inilah yang mungkin tersilap oleh para testor maupun pembina para aparat keamanan ini, sehingga mereka gagal dalam merekrut para aparat keamanan yang bermental baik. Selanjutnya hal ini juga bisa merupakan imbas dari MoU Helsinki yang memberikan kemudahan bagi para eks kombatan GAM yang berminat untuk bergabung menjadi prajurit TNI/Polri dalam waktu pendidikan dan pelatihan yang terbilang singkat, hal ini sering disebut "catam cakil". Sehingga tanpa pemeriksaan yang detil dan hati-hati, demi melaksanakan "perintah dan kebijakan " pemerintah maka direkrutlah para eks kombatan ini dengan mengesampingkan prasayarat yang proporsional.
Walhasil, jadilah para "infiltran" atau "penumpang gelap" dalam tubuh TNI/Polri di Aceh yang dengan mudahnya dikendalikan oleh (mungkin) "eks panglimanya" yang terdahulu. Namanya penumpang gelap, dia bisa "turun" dimana saja tanpa harus mempedulikan perintah atasannya. Dan tentu yang tidak kalah pentingnya adalah tugas dan fungsi para unsur pimpinan di lapangan dalam memahami dan memberikan pengawasan terhadap anak buahnya. Keterlibatan para oknum TNI/Polri ini tentu tak bisa lepas dari tanggung jawab para pemimpinnya yang telah lalai dalam menjalankan tugasnya.
Oleh karenanya, peristiwa ini perlu menjadi pelajaran berarti bagi semua pihak khususnya aparat TNI/Polri untuk melakukan evaluasi agar peristiwa semacam ini tidak lagi terjadi di masa yang akan datang. Aparat keamanan yang kita miliki ini adalah sahabat dan pelindung kita bukan tentara bayaran yang yang bekerja berdasarkan kepentingan yang membayarnya. Selanjutnya, kita tentu berharap bahwa peristiwa ini dapat diungkap sejelas-jelasnya dengan mengungkap motif dan aktor intelektual di balik peristiwa naas ini. Penangkapan Teuku Barmawi oleh Densus 88 diharapkan bukanlah akhir dari penyelidikan aparat kepolisian untuk menelusuri aliran uang yang tentunya memiliki "sumber" yang sekarang belum terungkap.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H