Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat Aceh (Sebenarnya) Belum Perlu Wali Nanggroe

8 September 2012   03:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:46 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kehadiran lembaga Wali Nanggroe memang menjadi perdebatan hingga saat ini di Aceh. Di satu sisi, kehadirannya merupakan konsekuensi politik logis atas pelaksanaan MoU Helsinki yang merupakan kesepakatan perdamaian antara GAM dan RI. Namun di sisi yang lain, jika kembali kepada kepentingan rakyat Aceh maka peran dan fungsi dari Wali Nanggroe juga tidak ada manfaatnya bagi rakyat Aceh bahkan disinyalir menjadi lembaga yang justru akan “tumpang tindih” dengan peran dan fungsi pemerintahan Aceh.

Memang sebuah pilihan yang dilematis bagi rakyat Aceh dimana keberadaan Lembaga Wali Nanggroe juga secara histories ada dalam kondisi perang selain Sultan Aceh saat itu memang belum cukup umur untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sementara itu, kenyataan yang kita lihat sekarang adalah Aceh telah mencapai kesepakatan damai dengan Indonesia, relatif kondisi keamanan pun stabil, tidak ada gejolak dan rakyat Aceh pun lebih berfokus pada kegiatan-kegiatan ekonomi. Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih juga terbilang berpengalaman dalam organisasi dan cukup umur tentunya sehingga tidak memerlukan “pendampingan” layaknya Sultan Kerajaan Aceh yang masih muda sehingga perlu tokoh seperti Tuanku Hasyim Banta Muda dan Abdur Rauf Al Singkili. Lalu dimana letak perlunya kehadiran seorang Wali Nanggroe untuk Aceh sekarang?

Seorang Wali adalah pemimpin, atau juga sering disebut figur yang membangkitkan semangat dan persatuan bagi rakyat Aceh dalam melawan ketidakadilan dan penjajahan pada suatu masa. Sekarang Aceh telah memiliki pemimpin yang dipilih sendiri oleh rakyat Aceh melalui pemilihan yang demokratis sehingga buat apa lagi kehadiran pemimpin yang dilandasi atas sebuah penunjukan seperti Wali Nanggroe?

Rakyat Aceh sendiri sedang mengalami persoalan-persoalan pelik terkait ekonomi dan kesejahteraan. Ratusan ribu rakyat Aceh masih menganggur, tingkat kualitas pendidikan di Aceh termasuk paling rendah di Indonesia. Belum lagi rehabilitasi para korban tsunami yang masih belum betul-betul pulih, bahkan sebagian di antaranya masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Petani di Aceh masih mengalami kesulitan dalam mengairi sawah-sawahnya karena buruknya system irigasi di Aceh, sarana dan prasarana transportasi pun buruk sehingga dalam distribusi barang di Aceh tidak punya pilihan lain selain melalui jalur darat. Komplesitas persoalan di Aceh ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang maha berat bagi pemerintahan yang baru untuk diselesaikan dan diatasi demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat Aceh sebagaimana dijanjikan dalam kampanye-kampanye pemilukada yang lalu.

Tetapi, politik tetap saja politik. Prioritas pemerintahan Aceh yang baru justru salah satunya adalah menyelesaikan raqan qanun Wali Nanggroe yang diperkirakan menelan milyaran APBD guna pembangunan “istana” Wali Nanggroe di daerah Lampiereut dan menggaji Wali Nanggroe beserta perangkatnya hingga seumur hidup mereka! Belum lagi berbagai fasilitas dan kelengkapan yang berbiaya fantastis untuk melakukan berbagai kegiatan Wali Nanggroe di dalam dan luar negeri. Andaikan Pemerintahan Aceh bijak dalam membuat kebijakan pemanfaatan anggaran, tentunya fokus pemerintahan Aceh akan diarahkan bagi penyediaan lapangan kerja sehingga rakyat Aceh bisa bekerja dan hidup dengan layak, atau menyediakan perumahan yang bersih dan pantas atau juga dapat diarahkan untuk biaya peningkatan kualitas pendidikan bagi putra dan putri Aceh agar dapat bersaing secara nasional dan internasional, dan masih banyak lagi yang dapat dibuat untuk mensejahterakan rakyat Aceh dibanding “hanya” mengangkat symbol-simbol yang tak jelas fungsi dan manfaatnya bagi rakyat Aceh.

Oleh karenanya, saya berpendapat rakyat Aceh belum memerlukan tokoh ataupun seorang Wali nanggroe untuk mensejahterakannya. Cukuplah sudah keberadaan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai pemimpin Aceh yang kita pilih sendiri untuk menjalankan tugas-tugas mensejahterakan Aceh sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Rakyat Aceh tidak perlu berbagai symbol, ataupun ornamen-ornamen kekuasaan yang hedonis, tetapi rakyat Aceh perlu makanan yang cukup, pendidikan yang layak dan tempat tinggal yang pantas serta situasi dan keadaan yang aman. Itu yang rakyat Aceh perlukan.

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun