[caption id="attachment_289326" align="aligncenter" width="567" caption="Gambar Ilustrasi (http://image.metrotvnews.com/bank_images/actual/162391.jpg)"][/caption]
Selasa lalu, sekelompok orang dilaporkan telah menganiaya seorang kader Partai Nasional Aceh (PNA) bernama Syamsuddin (47 tahun) setelah memasang bendera partainya di dekat meunasah Tanjong Awe, Kecamatan Samudera Gedong Aceh Utara. Korban mengaku dipukul dan diancam akan ditembak apabila masih melakukan kegiatan pemasangan bendera partai tersebut. (sumber)
Peristiwa di atas mengawali tahun 2014 yang dikenal sebagai tahun politik ini. Sebagaimana diketahui, April mendatang, pemilu legislatif akan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia termasuk di Aceh. Tentunya persaingan dan perebutan simpati publik serta kampanye-kampanye "putih" maupun "hitam" diperkirakan akan mewarnai jalannya pesta demokrasi sepanjang tahun ini. Peristiwa penganiayaan yang dialami oleh salah seorang kader PNA di atas sebenarnya bukan kali pertamanya terjadi di Aceh. Sebelumnya di tahun 2013, telah banyak kader-kader PNA yang mengalami kejadian serupa seperti Syamsuddin, bahkan hingga tewas secara mengenaskan seperti yang dialami oleh Cek Gu. Adapula kader-kader PNA yang dibakar mobilnya dengan sengaja, demikian pula intimidasi terhadap seorang guru yang berniat menjadi mencalonkan diri sebagai caleg partai tersebut.
Melihat rentetan kejadian teror di atas, tentunya menggiring kita pada pertanyaan-pertanyaan, Apakah demokrasi yang bersih masih berjalan di Aceh? Sudahkah partai-partai peserta pemilu di Aceh yang akan datang, memahami arti dari sebuah demokrasi yang sehat? Banyak sekali literatur dan pembahasan mengenai demokrasi, namun bagi saya pribadi, "roh" dari demokrasi adalah kejujuran dan menghormati perbedaan.
Peristiwa yang terjadi Selasa lalu di Aceh, menunjukkan betapa kejujuran dan penghormatan terhadap perbedaan tidak terjadi di Aceh. Yang terjadi justru survival of the fittest, siapa kuat dia yang berkuasa, mayoritas menindas yang minoritas dan penguasa menginjak yang lemah. Jika jujur hati kita, rakyat Aceh sudah pasti tahu betul siapa pelaku-pelaku pemukulan tersebut atau para pelaku yang melakukan pembakaran mobil maupun teror bahkan pembunuhan. Pertanyaannya sekarang, adakah keberanian dari orang-orang yang mengetahui peristiwa itu untuk melaporkannya kepada polisi? Dan pertanyaan yang paling utama adalah, beranikah polisi menegakkan hukum di Aceh dengan jujur dan seadil-adilnya?
Di sinilah survival of the fittest kembali terjadi. Siapa kuat, ia yang berkuasa. Dan lebih parahnya lagi apabila aparat yang disumpah untuk menegakkan hukum pun ikut "bermain mata" dengan penguasa. Pernyataan saya dilandasi oleh fakta dimana Kepolisian Aceh hampir tidak pernah membongkar motif dan latar belakang terjadinya peristiwa. Sebagai contoh, pada kasus pembunuhan Cek Gu beberapa waktu lalu, jelas-jelas para pelakunya adalah simpatisan Partai Aceh (PA) yang mana motif dijelaskan pihak kepolisian akibat dendam karena korban menjelekkan salah seorang tokoh elit partai (Zakaria Saman). Namun demikian penyelidikan pihak Kepolisian pun berhenti sampai dengan para pelaku penembakan, bukan aktor-aktor yang berada di belakangnya. Demikian pula yang terjadi pada rentetan kasus teror pemilukada 2012 lalu, polisi menghentikan penyelidikan hanya sampai kelompok mayor cs. Dan banyak peristiwa-peristiwa lainnya yang jauh dari kata "tuntas" apabila bersangkut-paut dengan penguasa dan kelompoknya.
Saya memperkirakan peristiwa-peristiwa serupa akan terus terjadi di Aceh jelang pemilu 2014 mendatang apabila aparat penegak hukum terus menerus enggan melakukan tugasnya dengan jujur. Saya pun memperkirakan dengan melihat peristiwa-peristiwa kekerasan politik yang tak kunjung berakhir di Aceh justru akan semakin mencerdaskan rakyat Aceh dalam menentukan pilihannya yang akan datang. Pelajaran 5 tahun ke belakang dari wakil-wakil yang dipilihnya pada periode sebelumnya menjadi catatan khusus betapa kesalahan dalam menentukan pilihan akan berdampak luas pada kesejahteraan Aceh di masa yang akan datang. Semoga rakyat Aceh semakin berani menentukan pilihannya dan Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan lahir dan batin kepada rakyat Aceh untuk memilih dan menentukan masa depan mereka melalui calon-calon yang dipilihnya nanti.
Rafli Hasan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI