Terkadang saya membayangkan betapa nikmatnya naik mobil Pak SBY menelusuri jalan-jalan di Jakarta. Nyaman, Sejuk dan ... BEBAS MACET!!! Khayalan saya ini tiba-tiba hancur berkeping-keping setelah melihat kenyataan yang ada di depan saya saat melintasi tol jagorawi.Macet dan berdebu. Sebenarnya tol ini tidak pernah kena macet selama ini kecuali saat-saat tertentu, seperti saat Pak Presiden mau lewat...huh!!
Ceritanya begini, saat pulang kantor kemarin, saya melintasi jalur itu untuk pulang ke rumah. sore jam 5an itu sebenarnya jalur itu jauh dari kata macet, yaa adalah dikit-dikit kalo truk atau kendaraan besar yang memang lambat bergerak. Tetapi, perasaan saya memburuk (hehe...) begitu lewat sepeda motor dinas di jalan tol bertuliskan PM gitu. Hmmm, saya analisa kalo angkatan laut yang pernah saya liat sebelumnya mungkin hanya minta jalan, tetapi kali ini ijo pakaiannya. Bukankah ini SOP pengamanan presiden? Ternyata perasaan saya benar, tidak terlalu lama setelah saya sadar, jalan di depan saya macet total! Damn!!! Mulai dari palang petunjuk arah tol lingkar luar sampai dengan seterusnya. Saya ga tau kapan iring-iringan itu lewat, tapi jelas itu sangat mengganggu sebagai sesama pembayar pajak. (btw presiden bayar pajak ga ya?) artinya sesama pengendara kita harus saling menghormati dan menghargai, siapapun itu.
Saya ingat sempat membaca salah satu artikel kompasiana yang menulis Presiden Taiwan yang naik pesawat komersil dengan kelas ekonomi. Saya sangat kagum akan kesederhanaannya. Demikian juga pengalaman saya saat tinggal di Tokyo dimana seorang istri PM yang akan berkunjung ke KBRI dengan hanya menumpang taxi. Juga keteladanan dan kesederhanaan para pejabat India yang rendah hati, santun dan penuh pengabdian serta keteladanan dari Presiden Iran yang menyelenggarakan pesta perkawinan anaknya dengan sangat sederhana, berbeda dengan perkawinan Ibas anak pak SBY.
"Saya bukan pembenci pak SBY atau pun para pejabat Indonesia, namun mengingat record mereka yang sering berkunjung ke luar negeri, kenapa sih tidak mencoba untuk belajar kearifan lokal para pejabat yang saya sebutkan di atas?"
Artikel ini semata-mata saya tulis sebagai ungkapan kekecewaan saya terhadap sistem transportasi dan protokoler kenegaraan yang mengganggu masyarakat sebagai pembayar pajak yang tentunya memiliki hak untuk memanfaatkan fasilitas yang ada. Saya bukan pembenci pak SBY atau pun para pejabat Indonesia, namun mengingat record mereka yang sering berkunjung ke luar negeri, kenapa sih tidak mencoba untuk belajar kearifan lokal para pejabat yang saya sebutkan di atas?
Andaikan Pak SBY terkena macet, maka sebagai pemimpin ia pun akan berfikir untuk mulai menata dan mengelola dengan baik sistem transportasi di Indonesia. Merubah SOP pengamanan yang terlalu berlebihan untuk ukuran negara seperti kita. Bukankah seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah anak buahnya? atau berada di saat-saat yang paling kritis? Mungkin saya salah dalam menduga, tapi saya berasumsi bahwa siapa saja, Presiden ataukah pejabat lainnya harus benar-benar merasakan kemacetan Jakarta, bukan lari dari kenyataan dengan vorider dan konvoy yang meraung-raung sehingga memekakkan telinga para pengendara yang lain.
Raflihasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H