[caption id="attachment_284144" align="aligncenter" width="430" caption="Sumber: Facebook.com (posting akun pribadi teman)"][/caption]
Hari ini (seharusnya) menjadi hari besar bagi rakyat Aceh, dimana sekarang di gedung DPR Aceh, Banda Aceh, tengah dilakukan pengukuhan Wali Nanggroe ke-9, Malik Mahmud Al Haytar. DPR Aceh minggu lalu, telah mengirimkan lebih kurang 2500 undangan untuk menghadiri pengukuhan ini, meskipun polemik, kontroversi dan penolakan masyarakat maupun pemerintah pusat terhadap acara ini.
Sebelumnya, pada Jumat lalu DPRA telah mengesahkan rancangan qanun (Raqan) No.8 tahun 2012, tentang Lembaga Wali Nanggroe dan usulan baru raqan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Keurukon Katibul Wali Nanggroe untuk memperlancar acara pengukuhan Wali Nanggroe yang terus mendapat tentangan dari Pemerintah Pusat, meskipun dalam pengesahan tersebut juga masih terdapat kritikan dari fraksi-fraksi yang menilai bahwa qanun revisi tersebut masih mengandung kelemahan karena tidak mengacu pada tata cara pembuatan qanun yang diatur dalam qanun nomer 5 tahun 2011. Demikian pula dalam hal substansi qanun yang menilai lembaga Wali Nanggroe terlalu gemuk dan tumpang tindih dengan lembaga lain yang sudah ada. (http://aceh.tribunnews.com/2013/12/14/revisi-qanun-wali-disahkan).
Di tempat lain, penolakan terhadap keberadaan Wali Nanggroe masih terus mengundang protes dan penolakan masyarakat. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Aceh menyatakan dengan tegas penolakan mereka terhadap lembaga ini dan meminta kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menunda keputusan pengukuhan Wali Nanggroe. Demikian pula organisasi-organisasi massa lainnya seperti Aceh Institute (AI), Forum Pemuda Peduli Aceh Nusantara (FPPAN) dan Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) tak henti-hentinya menyuarakan hal yang sama. Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat di Gayo menolak pengukuhan Wali Nanggroe dengan cara mengembalikan undangan yang disebarkan oleh DPRA.
Bagi saya pribadi, perkembangan keadaan di atas merupakan bentuk perlawanan DPR Aceh tidak saja terhadap pemerintah pusat namun juga kepada suara-suara dan aspirasi masyarakat Aceh selama ini yang menentang pengukuhan Wali Nanggroe sebelum persoalan-persoalan yang menyertainya diselesaikan terlebih dahulu. Seperti misalnya, Pemerintah Pusat melalui Kemendagri yang meminta DPRA untuk menjawab terlebih dahulu surat permintaan klarifikasi terhadap qanun Wali Nanggroe sebanyak 21 items. DPRA baru saja menyelesaikannya pada Jumat lalu, dengan tetap tidak menjawab 21 items yang diminta oleh Pemerintah Pusat yaitu dengan tetap mempertahankan susunan organisasi yang gemuk tersebut. Demikian pula dengan keinginan sebagian besar masyarakat Aceh yang selama ini menilai ketidakjelasan sosok Wali Nanggroe itu sendiri. Latar belakang, sejarah silsilah keluarga, hingga berbagai kontroversi yang menyelimuti sosok Malik Mahmud pilihan para eks kombatan ini. Belum lagi sejumlah pasal-pasal dalam qanun yang disinyalir sarat dengan diskriminasi dan pengabaian terhadap sejarah dan budaya Aceh.
Oleh karenanya, sangat disayangkan sikap dan keputusan DPRA yang secara terburu-buru dan tidak terencana dengan baik mengambil keputusan untuk melantik Wali Nanggroe pada hari ini, dengan mengabaikan persoalan-persoalan fundamental seperti saya jabarkan singkat di atas. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang akan terjadi setelah pengukuhan ini? Saya memperkirakan "ancaman" Pemerintah Pusat untuk menghentikan anggaran Wali Nanggroe akan betul-betul terjadi sampai dengan DPRA merubah qanun tersebut sesuai dengan keinginan pemerintah pusat. Demikian pula dengan aksi-aksi yang sama oleh berbagai elemen masyarakat akan semakin keras dari hari ke hari mengawasi prilaku dan kinerja sang Wali yang tergolong manula ini. Ibarat sasaran empuk, Wali Nanggroe Aceh akan menjadi sitting duck.
Di sinilah saya melihat kecerobohan DPRA maupun Pemerintah Aceh yang gagal dalam memperhitungkan resiko dan konsekuensi yang bakal terjadi akibat kurang mengantisipasinya pada saat membuat rencana sehingga akan membawa Aceh kepada persoalan baru yaitu penghentian anggaran Wali Nanggroe yang berarti sang wali tidak dapat beroperasional serta menempatkan sang Wali pada posisi sulit untuk ada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga saya berkesimpulan bahwa perlawanan DPRA ini merupakan salah satu dari puluhan bahkan ratusan langkah bodoh yang dilakukan oleh DPRA maupun Pemerintah Aceh.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H