Tadi malam, sekitar pukul 21.00 kekerasan bersenjata kembali lagi terjadi di Aceh, tepatnya di desa Geulanggang Teungoh Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireun. OTK kembali beraksi dan menewaskan 3 orang dari 4 penumpang yang ada di dalam kendaraan berstiker Partai Aceh. Di antara yang meninggal terdapat seorang balita yang masih berumur 1,5 tahun.
Kekerasan demi kekerasan di bumi Serambi Mekah seolah tak kunjung usai, meskipun berbagai upaya dilakukan oleh berbagai pihak berwenang di Aceh. Jika selama ini korban kebanyakan berasal dari Partai lokal maupun partai nasional oposan, kali ini justru, korban berasal dari simpatisan partai lokal terbesar di Aceh, Partai Aceh setelah melihat korban menggunakan kendaraan bersticker Partai Aceh.
Tentu, kejadian ini memilukan bagi kita semua, dimana kekerasan masih menjadi alat politik di Aceh untuk menekan, memeras dan bahkan meneror rakyatnya sendiri, dan hal itu semata-mata dilakukan untuk sebuah kursi dan kekuasaan. Ironis.
Berbagai spekulasi terkait kejadian ini, tentu mengarahkan pelaku penembakan berasal dari para korban sebelumnya yang berasal dari Partai nasional Aceh (PNA) atau partai nasional lainnya dengan motif balas dendam. Namun bagi saya pribadi, teori ini sudah basi setelah melihat kejadian sebelumnya dimana seorang tokoh asal partai Aceh ditembak oleh oknum Partai Aceh lainnya. 23 Maret lalu, Tgk Burhanuddin berhasil ditangkap oleh polisi atas tuduhan penembakan terhadap Ahmad Syuib, kader PA lainnya. Tgk. Burhanuddin sendiri merupakan caleg DPRK Lhokseumawe asal Partai Aceh.Dalam pengakuannya, Tgk Burhanuddin mengaku diperintah oleh seorang petinggi PA.
Fakta di atas menunjukkan adanya upaya menggiring opini masyarakat bahwa PA pun telah menjadi korban dalam aksi-aksi brutal berdarah ini. Sehingga aksi balas dendam menjadi motif paling sempurna yang dengan mudah diyakini pihak kepolisian. Sehingga bukan tidak mungkin, pembunuhan brutal ini juga dilakukan oleh para elit PA untuk memenangkan situasi yang selama ini dianggap menyulitkan bagi PA.
Jika betul dugaan saya, langkah yang dilakukan PA tersebut, bukanlah hal yang baru dalam dunia terorisme. Dalam Islam sendiri, Aliran Wahabi dikenal sebagai salah satu aliran Islam garis keras yang siap melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Korban tak berdosa dianggap sebagai casualty of war, yang memang harus siap dikorbankan. Mungkin pemahaman ini yang tengah berlaku di Aceh saat ini. Teman, saudara, perempuan dan anak kecil menjadi tumbal demi sebuah tujuan, yaitu kekuasaan.
Harapan tentunya diletakkan ke pundak para aparat penegak hukum dan keamanan untuk sigap bekerja demi menjamin keamanan dan perdamaian Aceh serta mengungkap motif dan menangkap para pelakunya untuk diajukan ke hadapan hukum, atau jika tidak, Aceh akan kembali bersimbah darah.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H