Jelang pilkada serentak 2018, menjadi hal yang lumrah bagi setiap kandidat Gubernur Provinsi paling Timur Indonesia untuk bermanuver, istilah populer kekiniannya "mencari panggung", untuk dikenal, dianggap pintar, dianggap pantas, sampai dengan dianggap membela rakyat kecil. Caranyapun bermacam-macam, ada yang mulai dengan mendaftar di parpol-parpol, atau mulai bergerilya ke kampung-kampung mencari dukungan hingga mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial di media sosial untuk memancing reaksi atau mungkin juga meraih simpati. Semuanya lumrah dan sah dalam alam demokrasi, tinggal bagaimana nantinya rakyat menilai untuk akhirnya menentukan pilihannya.
Salah satu kandidat yang menurut saya paling terkenal setelah Gubernur Papua petahana, Lukas Enembe adalah Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM sejak tahun 2012. Di antara putra-putra terbaik Papua yang akan berlaga pada Pilgub Papua 2018, Natalius tergolong yang paling muda (41 tahun) sehingga bisa dikatakan memberikan harapan baru bagi generasi muda Papua.
Kiprah yang dilakukannya pun tergolong berani, sebagai sosok yang mewakili generasi muda di Papua, ia banyak mengeluarkan komentar-komentar pedas yang mengkritik pemerintahan mewakili semangat generasi muda yang dikenal kritis dan tanpa basa basi. Sayangnya, sering kali pernyataan-pernyataannya di luar konteks dan kapasitasnya selama ini sebagai aktifis dan penggiat HAM sehingga menuai berbagai kecaman bahkan penghinaan terhadap diri yang bersangkutan.
Bolehlah jika mau berkilah bahwa itu pernyataan pribadi, tetapi bukankah aneh jika kita menilai seseorang bodoh namun kita sendiri tidak menguasai bidang yang ditangani oleh orang yang kita sebut bodoh? Sang Menteri pun menjawabnya dengan cara yang santai dan elegan, "I never claim, I am smart, so? (Saya tidak pernah mengaku pintar, jadi (mau apa)?" bahkan Susi juga menambahkan,"So far I remember, I always mention I am a minister with the lowest education(Seingat saya, saya selalu mengatakan bahwa saya adalah menteri dengan pendidikan terendah)". Jika saya menilai dari dua pernyataan itu saja,, saya kira kita tahu persis siapa yang sebenarnya bodoh.
Saya pribadi berpendapat, Natalius Pigai tidak sebodoh yang disangka-sangka selama ini. Pernyataan-pernyataan pedasnya ini  bertujuan untuk memicu reaksi masyarakat, para pendukung Presiden, para pendukung Ibu Susi dan sebagian besar rakyat Indonesia menjadi sasaran yang pastinya akan terpancing dengan pernyataan Pigai itu. ketika reaksi muncul yang terkadang keterlaluan dalam menghujat pribadi Pigai, disinilah permainan dimulai. Pigai mulai mendoakan para penghujatnya dan memposisikan diri sebagai orang yang teraniaya, tersakiti, terhina dan terdiskriminasi.
Drama besar Pigai dimulai, dengan memanfaatkan momen kasus Habib Rizieq. Selama ini ia dikenal sebagai musuh FPI, ia bahkan dihujat habis-habisan oleh sang Ketua, Habib Rizieq. Namun ketika FPI bermasalah, momen ini jadi peluang untuk dimanfaatkan dengan menjadi salah satu komisioner yang berdiri membela FPI. Disinilah saya menilai Natalius boleh dikatakan bermain cantik untuk meraih simpati.Â
Politik adalah panggung drama, dan Natalius berhasil memainkan perannya dengan baik. Saya hanya berharap bahwa rakyat kita, khususnya di Papua sudah semakin cerdas, sehingga dapat membedakan mana permainan yang jujur dan akal-akalan. Tujuannya hanya satu, untuk memilih pemimpin Papua yang betul-betul amanah dan bersedia mengabdi serta berkorban demi rakyat yang dipimpinnya.
Salam Damai,
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H