Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media-Media Budak Partai Politik

4 Februari 2014   09:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jelang Pemilu 2014 mendatang, sudah menjadi pemandangan yang umum betapa iklan dan produk-produk kampanye baik yang terbuka maupun terselubung kian mewarnai media-media kita. Tidak hanya terbatas di media cetak maupun elektronik, berbagai iklan pun tersebar di media-media online.

Memang, pemilu 2014 mendatang menjadi kuali rejeki bagi siapapun yang dapat memanfaatkannya. Mulai dari tukang sablon hingga para pemilik media yang tentunya berhasrat untuk maju sebagai pemimpin negeri. Ada yang hasratnya disampaikan secara sembunyi-sembunyi, adapula yang diumbar secara vulgar dengan "sengaja" memasukkan iklan kampanye dalam berbagai program yang diusungnya. Mulai dari acara partai politik yang dipimpinnya, sampai dengan yang vulgar (dan biasanya bodoh) kuis-kuis rekayasa yang diakui sebagai pencerdasan bangsa namun justru diyakini masyarakat sebagai pembodohan. Lihat saja contoh kuis dengan kata sandi "W** H*" . Tidak berhenti di situ saja, beberapa kandidat pemimpin negeri pun sempat muncul sebagai bintang tamu sebuah sinetron.Hadeuh...

Kreativitas jelang pemilu dalam mengiklankan diri memang kian berkembang luar biasa, hingga berbagai cara dilakukan untuk mensiasati aturan pemilu yang sedianya kampanye baru dimulai secara resmi Maret tahun ini. Namun yang terjadi berbagai kampanye narsis terus terjadi sejak tahun lalu. Ini baru yang terjadi dalam skala nasional. Bagaimana dengan daerah-daerah yang jauh dari pantauan publik?

Di ujung sebelah barat Indonesia, provinsi Aceh misalnya, para politisi asal partai lokal terbesar dengan bebasnya melakukan berbagai aktivitas politik dengan melibatkan massa yang besar. Misalnya yang terjadi pada Pelantikan Komite Pemenangan Partai Aceh (KPPA) di Kabupaten Bireun pertengahan Januari lalu. Massa yang berkumpul lebih dari 1000 orang yang dihadiri oleh para fungsionaris partai dari berbagai pelosok di Aceh. Pada kesempatan itu pula, orasi politik (setengah kampanye) yang disampaikan oleh Juru Bicara Partai Aceh (PA) yang juga calon DPD Aceh, Fakhrul Razi secara terang-terangan "berkampanye" di hadapan masyarakat untuk memilih partai ini, dengan menjelekkan lawan-lawan politiknya dari partai lokal lainnya. Belum lagi ajakan kepada para kepala dinas yang secara umum berasal dari Partai tersebut untuk membantu secara penuh pemenangan partai Aceh. Media-media lokal pun ditekan untuk menghentikan iklan-iklan partai lokal lain yang tidak sejalan dengan Partai Aceh, jika tidak maka "tekanan" yang lebih keras akan menimpa media-media tersebut.

Inilah yang terjadi ketika kontrol media tidak lagi terletak di tangan masyarakat, melainkan berada pada tangan penguasa ataupun sang pemilik media. Kekuasaan dan keadilan tidak lagi berjalan bersama dan berimbang, sebaliknya siapa berkuasa (punya uang dan kekuasaan) bisa melakukan apa saja tanpa mempedulikan keadilan bagi orang lain. Memang, tidak ada yang salah sebenarnya bagi pemilik media yang ingin terjun ke politik untuk memanfaatkan asset nya untuk beriklan secara gratis, ataupun penguasa yang menginginkan kelompoknya tetap eksis, persoalannya adalah seberapa sering? Ibarat minum obat, perbedaan antara obat dan racun hanya satu, yaitu dosisnya.

Ironisnya, yang terjadi sekarang ini adalah racun, bukan obat akibat "kelebihan dosis". JIka kita lihat di tengah masyarakat yang sudah jauh lebih dewasa dalam berpolitik seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya, perbudakan media oleh partai politik terus terjadi, bagaimana halnya dengan daerah-daerah lain yang jauh dari pantauan masyarakat? Seperti Aceh misalnya. Seberapa sering sih, berita tentang Aceh muncul di berita-berita nasional? Padalah kekerasan jelang pemilu semakin marak di Aceh. Mulai dari pembakaran mobil, perusakan baliho dan bendera partai lawan politik hingga kekerasan-kekerasan lain yang merujung maut? Seberapa sering media nasional, memberitakan persoalan-persoalan di Aceh, atau di daerah-daerah lainnya di Indonesia seperti Papua ataupun Maluku?

Kita semua berharap, bahwa media-media ini benar-benar independen, bersih dari berbagai kepentingan dan benar-benar menjadi corong aspirasi masyarakat, di samping mengungkap kebenaran yang dilandasi pada keadilan, Perbudakan tidak mencerminkan keadilan. Bagi siapapun yang diperbudak, apalagi di alam demokrasi seperti sekarang ini. Sebab saya yakin dan percaya dalam kehidupan demokrasi yang matang, kekuasaan dan keadilan harus dapat berjalan bersama, karena dimana diperlukan keadilan, maka kekuasaan (hukum) yang berbicara, demikian pula dimana diperlukan kekuasaan, maka terjadi kekuasaan yang berkeadilan.

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun