[caption id="attachment_261746" align="aligncenter" width="398" caption="Galau di antara Kewenangan Migas dan Memilih Bendera (Sumber: ILUSTRASI PRIBADI)"][/caption]
Semenjak penandatanganan kesepahaman damai antara RI dan GAM 2005 silam, Aceh yang pada awalnya merupakan daerah konflik, kini berubah menjadi daerah yang multi-istimewa dengan memiliki berbagai kekhususan yang dituangkan dalam UU Pemerintahan Aceh No 11 Tahun 2006. Salah satunya adalah kewenangan pengelolaan migas yang disebutkan dalam pasal 160 Ayat 1 UUPA, Pemerintah Aceh kini memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan sumber daya migas bersama dengan Pemerintah Pusat.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan bahwa pemerintah saat ini masih membahas dua peraturan pemerintah (PP) dan satu keputusan presiden (keppres) terkait kewenangan Aceh. Salah satu yang dibahas adalah soal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh dalam mengelola sumber daya minyak dan gas di Aceh. Saat ini pemerintah masih menunggu usulan dari Pemerintah Aceh untuk memberikan masukan terkait hal itu. Mendagri juga menyatakan bahwa pembahasan mengenai hal ini juga dilakukan secara bersamaan dengan evaluasi qanun, khususnya mengenai penggunaan lambang bendera Aceh.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPR Aceh, Nurzahri menyatakan bahwa masih terdapat persoalan serius terkait dengan pengelolaan migas yaitu pembagian hasil dimana Pemerintah Pusat menginginkan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Pemerintah Aceh, namun Pemerintah Aceh menginginkan sebaliknya yaitu 70% untuk Pemerintah Aceh dan 30% untuk Pemerintah Pusat.
Bagi saya pribadi, persoalan pengelolaan migas merupakan salah satu sumber yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh dimana kekayaan migas tersebut dapat dimanfaatkan bagi perbaikan hajat hidup orang banyak. Persoalan pembagian hasil, secara hukum kita seharusnya mengembalikan kepada hierarchy hukum yang berlaku di Indonesia. Pada pasal 33 UUD 1945, ayat 1 disebutkan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” selanjutnya dalam ayat 2 juga disebutkan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Menurut saya, pasal 33 UUD 1945 tersebut, secara jelas dan tegas menyatakan kepemilikan negara atas berbagai sumber-sumber produksi yang ada di wilayah kedaulatan RI, yang menyertakan tanggung jawab bahwa melalui sumber-sumber tersebut pemerintah memiliki kewajiban untuk memanfaatkannya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, tawaran pembagian hasil oleh Pemerintah Pusat tersebut sangatlah logis. Kenapa logis? Sebab 70% dari hasil migas tersebut Pemerintah berkewajiban untuk memanfaatkannya bagi kemakmuran rakyat yang ada di 32 provinsi lainnya. Bisa kita bayangkan, jika 70% hasil tersebut dibagi ke 32 provinsi lainnya maka setidaknya setiap provinsi “hanya” memperoleh 2%, bandingkan dengan Aceh yang memperoleh 30% untuk daerahnya sendiri.
Selanjutnya, saya juga menduga bahwa kealotan tawar menawar antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh soal bagi-bagi hasil ini, terkait pula dengan evaluasi qanun Aceh, khususnya lambang dan bendera Aceh yang kontroversial itu. Pernyataan Nurzahri di atas mengindikasikan hal tersebut. Bagi-bagi hasil migas Aceh terkait erat dengan kontroversi lambang dan bendera Aceh yang jelas-jelas melanggar PP no.77 tahun 2007 yang melarang penggunaan atribut dan lambang-lambang separatis. Pertanyaannya, mengapa hal ini masih dipertahankan oleh Pemerintah Aceh yang digawangi oleh para eks kombatan GAM tersebut? Buat saya, kontroversi bendera separatis ini “sengaja diciptakan” untuk memperoleh nilai tawar dari Pemerintah Pusat terkait bagi-bagi hasil tadi. Bendera dan lambang separatis yang diusung oleh Pemerintah Aceh yang dikuasai para eks kombatan baik eksekutif maupun legislatif, menurut saya sama sekali tidak terkait dengan doktrin apalagi sebuah paham nasionalisme GAM, namun semata-mata hanyalah trigger untuk memperoleh kewenangan migas secara penuh di Serambi Mekah. Persoalannya, tidak menjadi masalah apabila memang hasil migas tersebut benar-benar dimanfaatkan sepenuhnya untuk masyarakat Aceh khususnya para anak yatim piatu, korban konflik dan bencana tsunami yang berjumlah jutaan orang di Aceh, namun apabila digunakan untuk kepentingan kelompok dan memperkaya orang-orang tertentu, siapa orang Aceh yang berani menjamin hal itu tidak terjadi dengan kondisi politik dan birokrasi Aceh seperti saat ini?
Saya melihat apabila Pemerintah Pusat dan tentunya rakyat Aceh tidak hati-hati dan jeli melihat persoalan ini, maka keistimewaan Aceh akan mengakibatkan terjebaknya Aceh dalam kekuasaan absolut yang justru akan sangat merugikan khususnya bagi rakyat Aceh. Tak satupun di belahan dunia manapun dapat menerima sistem absolut yang mana Aceh tengah menuju ke arahnya. Saya mengingat sebuah pernyataan bagus dari sejarawan, bangsawan dan politikus Inggris Raya, Lord Acton yang menyatakan bahwa, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup. Orang-orang hebat hampir selalu orang yang tidak baik).
Semoga Allah SWT senantiasa menjauhkan Aceh dari segala kerugian dan ketamakan,
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H