[caption id="attachment_201067" align="alignnone" width="631" caption="Vikram alias Ayah Banta, otak pelaku terorisme Aceh saat pilkada lalu (Sumber: Dokumentasi pribadi)"][/caption]
Rangkaian penembakan, penggranatan dan aksi kekerasan lainnya yang menewaskan belasan korban di Aceh merupakan delik politik dan bersifat pidana biasa yang terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh beberapa waktu lalu. Aksi yang dipandang secara umum oleh para pengamat sebagai aksi terorisme yang melibatkan Vikram alias Ayah Banta dan 6 orang mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut, diyakini oleh penasehat hukum para terdakwa Akhyar dari Tim Pembela Muslim (TPM)Â bukan merupakan tindakan terorisme sehingga ia menganggap Jaksa Penuntut Umum (JPU) berlebihan dalam menilai kasus ini dengan dakwaan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mana yang benar, Pengacara ataukah Jaksa?
Merujuk dari definisi terorisme berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Nomor 15 tahun 2003, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, yang diatur pada Bab III (Tindak Pidana Korupsi) Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
- Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
Selanjutnya berdasarkan UU yang sama ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
- Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
- Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
- Menggunakan kekerasan.
- Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
- Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Dengan landasan pemahaman di atas, dapat diketahui bahwa baik pernyataan Jaksa maupun Pengacara Terdakwa sama-sama memiliki unsur kebenaran. Alasan pengacara bahwa aksi terdakwa bermotifkan politik memang masuk akal, sebab waktu terjadinya aksi kekerasan berlangsung saat jelang pemilukada dimana terdapat persaingan dan perseteruan secara tidak sehat antara calon independen dengan parpol lokal terbesar yaitu Partai Aceh (PA). Namun demikian, pernyataan Pengacara juga kontradiktif dengan pernyataan para pejabat birokrasi, politik maupun aparat keamanan di Aceh saat itu, yang rata-rata berpendapat bahwa aksi-aksi tersebut merupakan kriminalitas murni. Sementara itu, JPU bekerja berdasarkan BAP yang dibuat oleh POLRI yang menyimpulkan bahwa aksi-aksi kekerasan yang dilakukan terdakwa memenuhi unsur-unsur tindak pidana terorisme, seperti misalnya, yang pertama aksi tersebut direncanakan dengan sasaran tertentu; ada perencana, pelaksana maupun pendukung aksi tersebut. Kedua, aksi terorisme ini dilakukan oleh para eks kombatan GAM secara berkelompok yang memang memiliki kemampuan dalam penggunaan senjata maupun taktik dan tehnik dalam melakukan aksi terorisme. Dan yang ketiga, aksi tersebut berhasil "memaksa" pemerintah pusat untuk menunda pelaksanaan pemilukada beberapa kali akibat "tekanan" terus menerus melalui aksi-aksi terorisme yang memiliki tujuan politik.
[caption id="attachment_201072" align="alignnone" width="618" caption="Para Terdakwa teroris Aceh 2012 (dokumentasi pribadi)"]
Teroris Politik ataukah Politik Teroris?
Menurut pendapat saya, teroris politik adalah aksi terorisme yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan secara politik dalam masa tertentu guna menciptakan situasi dan keadaan yang sesuai dengan arah politik users. Sementara itu, politik teroris adalah politik kekuasaan dengan menggunakan aksi terorisme sebagai tools dalam mewujudkan keinginan dari penguasa. Contohnya sangat gamblang terlihat dalam recent update global saat ini. Bagaimana Pemerintahan Suriah mengintimidasi rakyatnya sendiri, bagaimana Lybia semasa kepemimpinan Khaddafi meneror para lawan politiknya, demikian juga yang terjadi di Iraq, dan negara-negara di belahan Afrika lainnya. Teroris politik maupun politik teroris sama-sama dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan secara politik, untuk merebut kekuasaan atau memelihara/melanggengkan kekuasaan.
Situasi ini lah yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu, aksi terorisme dijadikan "alat" untuk mencapai kekuasaan, dan setelah kekuasaan berhasil diperoleh, kita lihat bagaimana keadaan Aceh sekarang yang tentunya jauh lebih damai daripada masa pilkada yang lalu. Hal ini sungguh mengerikan, dimana penguasa yang memanfaatkan terorisme sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Hidup manusia tidak lebih dari barang mainan yang ketika untuk mencapai tujuannya dengan mudah "dibuang" atau dihilangkan. Bagi saya, ini adalah kejahatan politik terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga penegakan hukum dan keadilan yang tegas dan firm menjadi salah satu jalan keluar bagi pidana terorisme ini demi memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan!
Wassalam,
Rafli Hasan