Eks kombatan GAM yang juga merupakan simpatisan Partai Aceh (PA) Zulkifli alias Abu Dun, terdakwa tunggal kasus penganiayaan dan pembunuhan Ketua Partai Nasional Aceh (PNA) Kecamatan Kuta Makmur Aceh Utara, M. Yuaini divonis Majelis Hakim 14 bulan penjara dikurangi masa tahanan dengan membayar denda sebesar Rp. 3.000,-. Kasus yang menyebabkan tewasnya Ketua PNA Kuta Makmur tersebut, dinilai Majelis Hakim bukan merupakan pembunuhan (pasal 340) namun merupakan penganiayaan (pasal 351 ayat 1). Hal itu disebabkan korban tidak langsung meninggal saat itu, karena terdapat jeda beberapa saat sebelum korban menghembuskan nafas terakhirnya.
Sebagaimana diketahui, M Yuaini tewas setelah dikeroyok oleh beberapa simpatisan PA. Menurut berita yang dilansir oleh situs jpnn.com tanggal 7 Februari 2014, M. Yuaini pada awalnya hendak pulang dari warung kopi di dekat tempat tinggalnya di desa Beureghang, Kuta Makmur sekitar pukul 02.00 dini hari. Di perjalanan korban dihadang oleh dua orang berkendaraan seperda motor yang menuduh korban telah mencopt bendera Partai Aceh yang dipasang. Korban menolak tuduhan tersebut dan langsung dikeroyok oleh dua simpatisan PA itu dengan menggunakan sebatang kayu hingga berujung pada ajalnya sekitar pukul 04.00 dini hari. (http://www.jpnn.com/read/2014/02/07/215246/Ini-Kronologis-Tewasnya-Ketua-DPC-Partai-Nasional-Aceh-).
Keputusan hakim tersebut tentu dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban maupun kader PNA lainnya. Sekretaris PNA Aceh Utara, Sofyan berpendapat bahwa vonis Majelis Hakim tersebut tidak memenuhi rasa korban tidak hanya bagi keluarga korban dan kader PNA, namun juga bagi masyarakat luas. Hakim dianggap tidak peka dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada saat berlangsungnya pesta demokrasi di Aceh. Sejak 2009 hingga 2014 puluhan korban tewas dan ratusan lainnya luka-luka masih terus terjadi tanpa ada satupun dalang yang berhasil terungkap. Dan lebih ironisnya lagi, hukuman yang diberikan kepada para pelanggar hukum ini selalu saja ringan dan cenderung kompromis.
Keadaan ini tentu akan semakin meningkatkan kecenderungan aksi-aksi kekerasan dan terorisme serupa di masa yang akan datang khususnya di Aceh. Punggawa hukum di Aceh, polisi dan hakim cenderung abai dalam melakukan tugasnya mulai dari penyelidikan hingga penuntasan kasus-kasus teror politik di Aceh. Muaranya di pengadilan pun aparat kehakiman tumpul dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan teror politik. Seperti contohnya kasus tewasnya Ketua PNA Kuta Makmur ini, dimana secara yuridis hukuman maksimal untuk kasus penganiayaan yang berakibat pada kematian sesuai pasal 351 adalah 7 tahun penjara. Namun Hakim dalam kasus ini menganggap penganiayaan ini merupakan penganiayaan "biasa" atau tidak sengaja hingga berakibat pada kematian hingga hukumannya pun "hanya" 2 tahun.
Oleh karena itu, guna pencegahan kasus-kasus serupa muncul kembali di masa yang akan datang, kita tidak punya pilihan lain selain mempercayakan tugas mulia ini kepada aparat penegak hukum yang ada. Sebaliknya, kita tentu berharap agar aparat penegak hukum yang dipercaya ini, secara profesional dan bertanggung jawab menjalankan tugasnya dengan jujur dan adil.
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H