Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Akankah Jokowi Hapus Qanun Jinayah?

7 Oktober 2014   16:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:03 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir bulan lalu, DPR Aceh menyetujui prinsip-prinsip peraturan daerah Islam dan hukum pidana Islam (qanun Jinayah) yang diyakini oleh para penggiat HAM sebagai bentuk diskriminasi terhadap kebebasan berekspresi dan beragama yang tidak terdapat dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum ini diberlakukan tidak hanya kepada warga muslim namun juga warga non muslim di Aceh maupun pengunjung domestik maupun manca negara.

Disebutkan dalam peraturan ini bahwa, para pelaku hubungan sesama jenis akan diganjar hukuman 100 kali cambuk dan 100 bulan penjara, sedangkan untuk kasus-kasus perzinahan (hubungan di luar nikah) dikenakan hukuman cambuk 100 kali. Aktivis HAM sekaligus peneliti dari Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono menyatakan bahwa qanun ini dapat mengkriminalisasi hubungan sesama jenis dan semua hubungan seks di luar nikah yang mana berarti menyangkal hak dasar warga Aceh dalam kebebasan berekspresi, privasi dan kebebasan beragama. Oleh karenanya ia meminta kepada Presiden yang akan datang, Joko Widodo untuk secara tegas mengarahkan Menteri Dalam Negeri mengkoreksi, merevisi dan bahkan menghapus qanun maupun perda-perda yang bersifat diskriminatif.

Secara historis, pelaksanaan syariah Islam dalam peradilan Islam di Aceh memiliki sejarah yang panjang. Dimulai sejak masa kerajaan Aceh, kekuasaan peradilan dipegang oleh Qadli Malikul Adli (Lembaga sejenis Mahkamah Agung) yang berada di Ibukota Kerajaan. Sementara untuk di daerah, terdapat Qadli Uleebalang yang memutus perkara-perkara yang berada di daerahnya. Keputusan Qadli Malikul Adli merupakan ketetapan hukum final yang harus dijalankan. Pada masa penjajahan Hindia Belanda, khusus untuk pribumi diberlakukan ordonansi 17 Juni 1916 stbl. 16 nomor 432 jo. 435 yang selanjutnya diubah beberapa kali hingga yang terakhir adalah diberlakukan ordonansi 1930. Saat Jepang masuk, peradilan sistem Belanda ditutup, perkara-perkara yang ada diselesaikan oleh Pangreh Praja. Kekuasaan peradilan berada pada Lembaga peradilan bentukan Jepang Gunpokaiki, Gunritukaigi, Gun Hooin, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan adat.

Ketika masuk masa kemerdekaan, keinginan untuk menjalankan syariah Islam di Aceh masih terus bergelora melalui surat kawat Gubernur Sumatera Nomor 1189, tanggal 13 Januari 1947 memberi ijin kepada residen Aceh untuk membentuk Peradilan Agama (Mahkamah Syariah).Pada era Reformasi, tuntutan masyarakat Aceh untuk menerapkan syariah Islam mendapat sambutan positif dari DPR dengan disahkannya UU No.44 Tahun 1999 tentang Peraturan pelaksanaan Keistimewaan untuk Aceh selanjutnya disahkan pula UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam perjalanannya, Mahkamah Syariah diresmikan pada tahun 2003 dan disahkan tahun 2004 melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 15 ayat 92, menyebutkan bahwa Preadilan Syariah Islam di Provinsi NAD merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.

Melihat perjalanan panjang sejarah Qanun Jinayah di atas, menunjukkan bahwa Aceh memiliki kewenangan dalam mengatur daerahnya sesuai dengan UU yang ada. Benturan dengan para penggiat HAM baik domestik maupun internasional memang tidak dapat dihindari, apalagi terkait dengan hukuman bagi para pelaku hubungan sesama jenis maupun pezina, namun sekali lagi, kita tidak bisa begitu saja mengabaikan perjalanan sejarah penerapan syariah Islam di Serambi Mekah begitu saja.

Bagi saya pribadi sebagai orang Aceh, saya tidak ada persoalan dengan Qanun Jinayah yang disahkan oleh DPRA, toh hal itu dilakukan untuk kebaikan masyarakat Aceh. Sebagai orang Aceh, kita punya cara sendiri dan hukum kita sendiri sesuai dengan UU yang berlaku. Persoalan dengan sorotan para penggiat HAM yang menganggap bahwa kami orang Aceh (melalui Qanun Jinayah) telah menyangkal hak dasar kebebasan berekspresi, privasi maupun kebebasan agama, saya punya ilustrasi yang pernah disampaikan mantan Presiden Indonesia ke-4 KH. Abdurahman Wahid yang mengibaratkan Indonesia sebagai rumah besar dengan banyak kamar. Ketika kita berada di kamar masing-masing, si empunya kamar punya aturan sendiri yang mana perlu dihormati oleh para pengunjung kamar lain. Namun ketika kita berada di ruang tengah, maka aturan rumah besar lah yang berlaku.

Demikian juga harapan kami orang Aceh, siapapun yang akan berkunjung ke "kamar" kami sudah sepatutnya menghormati keputusan kami sebagai pemilik "kamar" bahkan ketika si empunya "rumah besar" berkunjung. Karena menjadi kewajiban sebagai pemimpin "rumah besar" untuk mendengarkan aspirasi dan menghormati kami sebagai bagian dari penghuni "rumah besar".

Rafli Hasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun