[caption id="attachment_339588" align="aligncenter" width="536" caption="http://www.merdeka.com/peristiwa/peringatan-milad-gam-bukan-untuk-membangkitkan-perlawanan.html"][/caption]
Jelang peringatan HUT GAM yang sering disebut dengan Milad GAM ke-38 tanggal 4 Desember 2014 ini, Mantan Panglima GAM yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf memerintahkan kepada para eks kombatan dan simpatisannya untuk tidak lagi mengibarkan Bendera Bulan Bintang karena dianggap akan menambah kisruh permasalahan dan perdamaian di Aceh. Perintah ini dikeluarkan bukan tanpa alasan, mengingat para mantan GAM yang sempat dipimpin Panglima tersebut memang mengalami kesulitan untuk 'move on' dari kebiasaan-kebiasaan lamanya, mulai dari intimidasi, pajak nanggroe, teror, hingga pengibaran bendera yang tak bermakna apa-apa (seperti dikibarkan di jendela, pohon pisang pinggir sawah dll) yang akhirnya pun dicabut oleh aparat keamanan.
Tahun lalu, kasus-kasus penembakan, letusan senjata hingga pengibaran bendera GAM masih terus terjadi sebagai cara para mantan GAM untuk menyambut Milad. Padahal, dalam MoU Helsinki jelas-jelas disebutkan pelarangan terhadap organisasi GAM dengan segala bentuk dan tanda-tanda militer (insignia) untuk kembali digunakan. Begitu pula dengan persenjataan, 9 tahun pasca kesepahaman damai Helsinki masih juga ada mantan GAM yang menggunakan senjata-senjata sisa konflik untuk keperluan-keperluan baik politik maupun pribadi. Bahkan beberapa waktu lalu di daerah Aceh Timur, kelompok bersenjata yang dipimpin oleh Abu Minimi masih juga melakukan teror terhadap warga Aceh.
Lebih jauh lagi, partai politik lokal terbesar di Aceh, Partai Aceh (PA) yang merupakan manifesto dari para eks kombatan GAM dalam berbagai kesempatan dan kegiatan masih menggunakan logo-logo, pin dan warna yang sama dengan GAM pada masa konflik lalu. Tidak mau kalah dengan para kombatan, para mantan elit GAM yang saat ini menduduki jabatan-jabatan baik politik maupun jabatan khusus seperti Wali Nanggroe tidak segan dan canggung untuk berseragam parpol lokal usungan para mantan ini.
Move On
Gambaran situasi di atas menunjukkan betapa para mantan GAM masih juga mengalami kesulitan untuk 'move on', entah karena begitu nikmatnya masa-masa konflik bagi mereka atau memang karena tabiat dan kebiasaan yang sulit dihilangkan seperti psychopath. Sulit menerima realitas yang ada. Kenyataan bahwa Aceh tidak mungkin merdeka dan akan selalu berada di ketiak ibu pertiwi sudah menjadi kenyataan yang harus bisa diterima. Tinggal bagaimana upaya kita untuk 'move on' bekerja keras mengerahkan semua energi yang ada untuk kebaikan Aceh yang sama-sama kita cintai ini. Beutoi?
Ada kata-kata bijak dari seorang bijak Lee Iacocca yang menyatakan "in time of great stress or adversity, it's always best to keep busy, to plow your anger and energy into something positive". Seperti Aceh saat ini yang berada dalam keadaan sulit, ekonomi morat-marit, keamanan yang rendah, investor enggan berkunjung, dan birokrasi yang sarat nepotisme, ada baiknya para mantan ini untuk 'move on' dan menyibukkan diri dengan menyalurkan kemarahan dan energinya untuk kebaikan, kebaikan bagi rakyat Aceh tentunya.
Salam Milad ke-38,
Rafli Hasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H