Rafli Fadilah Achmad
Email : rafli.fadilah49@gmail.com
Putusan Mahkamah Konstitusi memang memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya adalah timbulnya putusan yang bersifat ultra petita. Bahkan dalam sejarahnya, konsep Mahkamah Konstitusi itu sendiri pun lahir dari putusan yang Ultra Petita. Tentunya adalah Marbury vs Madison sebagai dalang utama dari adanya konsep Judicial Review pada tahun 1803 di Amerika Serikat. Dimana kala itu, ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshal memutus diluar dari apa yang dimohonkan oleh Permohon yaitu Hakim Marbury. Dalam peristiwa itu Marbury hanya meminta penempatannya sebagai hakim yang diatur dalam Keputusan Presiden untuk ditelaah lagi, akan tetapi Hakim Marshal sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat justru melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di Amerika Serikat, dan menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, padahal Marbury hanya meminta pembatalan Keputusan Presiden. Hal ini pula yang menjadi cikal bakal dan membuka cakrawala dunia akan pentingnya suatu peradilan konstitusi di dalam suatu negara hukum.
Berangkat dari fakta sejarah, jika berbicara dalam konteks hukum, putusan yang ultra petita memang menjadi diskusi hukum yang tidak ada habisnya, banyak pihak yang pro terhadap ultra petita dengan dalih sebagai jalan menuju keadilan substantif, tapi tak jarang pula yang kontra akan hadirnya ultra petita karena bertentangan dengan asas kepastian hukum dan dapat menjadi suatu preseden buruk untuk membenarkan sebuah kesewenangan-wenangan “abuse” dan penyimpangan yang dilakukan oleh suatu lembaga negara.
Secara sederhana, Ultra Petita didefinisikan sebagai hakim menjatuhkan suatu putusan atas perkara melebihi dari apa yang dituntut atau diminta. Menoleh sedikit ke dalam hukum perdata, ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg, di dalam ketentuan tersebut secara gamblang melarang seorang hakim untuk memutus melebihi dari apa yang dituntut. Alasannya adalah sederhana, semua kembali kepada taat asas hukum bersifat pasif. Makna dari asas tersebut adalah majelis tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta oleh para pihak (ultra petita non cognoscitur). Namun kita tidak berhenti dalam perbincangan hukum perdata saja yang menitikberatkan pada hubungan hukum orang perorangan, pada kesempatan ini penulis lebih menguliti lebih mendalam mengenai Ultra Petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi sebagai judicial control dalam kerangka check and balances.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa keberadaan ultra petita di Makhamah Konstitusi tidak sejalan dengan tradisi hukum yang Indonesia anut yaitu civil law. Dalam negara hukum dengan tradisi civil law makna keadilan yang paling ideal adalah lahir dari hukum tertulis (yang penting adalah pasti), berbeda dengan common law yang bertumpu pada prinsip judge made law (mengikuti dinamika keadilan yang hidup di masyarakat). Dengan adanya ultra petita maka hal tersebut mencerminkan ketidak konsistenan sistem hukum yang Indonesia telah dianut selama ini.
Selain itu juga, pada prinsipnya Mahkamah Konstitusi hanya memiliki wewenang sebatas untuk menguji undang-undang (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar, dan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk suatu norma baru yang mengantikan norma lama (legislative review) karena hal itu merupakan tupoksi dari Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden selaku pembuat undang-undang. Meskipun pada akhirnya hal tersebut di bantah oleh Bapak Jimly dalam kelas Lembaga Negara Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kurang lebih beliau mengibaratkan ultra petita seperti memilih sebuah jalan di tiga persimpangan, dimana ada tiga pilihan yaitu memilih ke kanan, ke kiri, atau ke tengah. Ketika saya memilih jalan ke tengah, secara tidak langsung kita menolak untuk ke kanan dan ke kiri, meskipun pada akhirnya saya tidak memiliki niat untuk tidak memilih ke kanan dan ke kiri, tetapi hanya berniat untuk memilih jalur untuk ke tengah. Begitupun sebaliknya, ketika kita memilih ke kanan, pada akhirnya kita harus meniadakan jalan untuk ke tengah dan ke kiri, karena hal tersebut konsekuensi logis atas sebuah pilihan dan tidak bisa dinafikan begitu saja.
Maka dari itu, banyak para wakil rakyat yang tidak menghendaki adanya ultra petita pada Mahkamah Konstitusi. Untuk merealisasikan kehendaknya maka direvisi-lah UU No 24 Tahun 2003 menjadi UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Denyut dari perubahan tersebut adalah melarang Mahkamah Konstitusi untuk melakukan putusan yang ultra petita sebagaimana yang kerap kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Perubahan itu dituangkan dalam Pasal 45 A yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh Pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permonan, dan hal tersebut dipertegas dengan adanya Pasal 57 ayat (2)a bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat :
a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
b. perintah kepada pembuat undang-undang
c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tidak lama berselang nyatanya Pasal 45 A dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tersebut di batalkan sendiri oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan 48/PUU-IX/2011.
SEBUAH PENDIRIAN
Lalu ada dimanakah posisi saya berdiri saat ini? Perlu saya tegaskan di awal bahwa saya berdiri pada sisi yang mendukung putusan ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada beberapa argumentasi yang terhimpun sebagai pijakan teoritis untuk menguatkan sikap yang saya pilih :
1. Larangan untuk memutus ultra petita adalah tidak sesuai dengan karakteristik hukum acara Mahkamah Konstitusi. Prinsip utama perkara pengujian undang-undang adalah untuk menegakan dan mempertahankan kepentingan konstitusional publik yang dijamin oleh konstitusi, hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari berlakunya suatu Undang-Undang yang berlaku umum (erga omnes) dan teori fiksi hukum (segala warga negara sudah mengetahui adanya peraturan sejak diundangkan oleh instansi yang berwenang). Oleh karena itu, sudah jelaslah Hakim Konstitusi tidak boleh tersandra hanya pada kepentingan prosedural semata dan petitum yang diajukan, karena disini Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab dan peran besar untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang sekiranya terlanggar karena diberlakukannya suatu Undang-Undang.
2. Larangan untuk memutus ultra petita adalah tidak sesuai dengan prinsip ex aequo et bono, meragukan independensi, dan kredibilitas Hakim sebagai seorang penafsir konstitusi. Jika di dalam permohonan sudah terdapat frasa yang menyatakan bahwa “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)...”, menurut hemat saya bahwa pemohon telah mentransformasikan harapannya sesuai dengan keadilan yang di pegang teguh oleh sang Hakim. Dalam literatur berbahasa Inggris,ex aequo et bonojuga sering diartikan sebagai“according to the right and good”, atau“from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurutex aequo et bonoadalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”. Selain itu juga, larangan ultra petita adalah bentuk keraguaan atas kredibilitas dan kompetensi seorang Hakim, bukankah seorang Hakim Konstitusi adalah seorang negarawan yang telah di tempa melalui proses “candradimuka” baik akademis, mental, karir, dan loyalitas hingga akhirnya dia dapat memegang amanah sebagai seorang Hakim dengan kasta “teratas”? Bukankah pula Hakim Konstitusi telah dipercaya pula oleh pengusungnya (Presiden/DPR/MA) sebagai penafsir konstitusi tunggal, yang putusannya final, dan binding ? Lalu, kenapa masih ragu?
3. Ultra Petita membatasi aliran hukum responsif dan hukum progresif untuk berkembang. Mengutip dari ide yang dikembangkan oleh Phillipe Nonet dan Philip Selznick terkait responsifitas hukum, mereka mengungkapkan kritik pedas terhadap teori hukum yang lebih mengedepankan sisi formalitas dan mengesampingkan realitas. Gagasan tersebut lahir dari praktek hukum yang seringkali hadir untuk membatasi dan sangat rigid, alih alih mencari keadilan, justru hukum itu sendiri yang membatasi jalan menuju keadilan. Responsifitas hukum adalah suatu upaya menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial, dan hal itu bisa terancam dengan larangan terhadap ultra petita.
4. Konsep larangan ultra petita di Hukum Perdata sama sekali tidak apple to apple dengan Mahkamah Konstitusi.Di dalam peradilan perdata pada dasarnya bertujuan untuk melindungi para pihak yang dikalahkan didalam proses peradilan . Apabila hakim memutuskan melebihi/ melampaui apa yang dimohonkan oleh penggugat atau tergugat (apabila tergugat dimenangkan), maka akan terjadi suatu ketidakadilan dan suatu kepastian. Apabila hal tersebut diterapkan maka peradilan perdata, maka ada kesan bahwa hakim berpihak kepada salah satu pihak. Lain halnya dengan pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK. pada dasarnya pengujian konstitusional bertujuan untuk mereduksi adanya kerugian hak konstitusional yang akan terjadi dikemudian hari pasca terjadinya kerugian hak konstitusional terhadap pemohon dan/atau mencegah terjadinya kerugian hak konstitusional dikemudian hari tanpa ada kerugian konstitusional yang menyeluruh yang dilekatkan kepada pemohon. Sedangkan, tujuan hukum acara perdata adalah memutuskan sengketa dengan didasari dengan petitum yang disampaikan penggugat. (Ibnu Sina, Jurnal Konstitusi Vol.9)
Mengutip pandangan dari L.J Van Apeldorn yang menyatakan bahwa sikap hakim perdata “tidak bisa ngapa-ngapain” hal ini disebagbkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Inisiatif untuk beracara dalam hukum perdata, datangnya bukan dari hakim atau badan pemerintah. Akan tetapi dari pihak yang merasa dirugikan kepentingannya.
b. Sesuai dengan Pasal 227 B. Rv, para pihak memiliki kuasa penuh untuk menghentikan acara yang telah dimulainya, sebelum Hakim memberikan keputusan.
c. Objek sengketa yang menjadi pertimbangan hakim, hanya seluas dari apa yang diajukan oleh para pihak. Maka dari itu, Hakim hanya mempertimbangkan sebatas hal-hal yang diajukan oleh para pihak (iudex non ultra petitaatau ultra petita non cognoscitur).
d. Hakim perdata harus menguak dan menerima kebenaran formil, sedangkan Hakim Konstitusi harus menggali sampai ketitik kebenaran materiil.
e. Mahkamah Konstitusi menggunakan sistem permohonan pengujian terhadap suatu norma apakah absah pembentukan norma tersebut, sedangkan peradilan perdata bersifat tuntutan sengketa antara penggugat dan tergugat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H