Mohon tunggu...
Rafli Bill Khuarizmi
Rafli Bill Khuarizmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Revisi UU Pernyiaran di Indonesia

6 Juli 2024   21:20 Diperbarui: 6 Juli 2024   21:23 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Revisi Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran menjadi pusat perhatian di tengah perdebatan di antara para pemangku kepentingan di Indonesia. Proses revisi yang telah berlangsung selama beberapa tahun ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketidaksepakatan antar fraksi di DPR hingga hambatan dari pelaku industri penyiaran.

Salah satu isu utama dalam revisi UU Penyiaran adalah pengaturan konten siaran dan kebijakan penyiaran digital. Pemerintah dan beberapa fraksi di DPR mendorong adanya regulasi yang lebih ketat terhadap konten siaran untuk memastikan bahwa tayangan yang disajikan kepada masyarakat tidak melanggar norma-norma sosial dan budaya. Namun, beberapa pihak mengkritik langkah ini karena khawatir regulasi yang terlalu ketat dapat menghambat kebebasan berekspresi dan kreativitas pelaku industri.

Selain itu, peralihan dari penyiaran analog ke digital juga menjadi topik utama dalam revisi UU Penyiaran. Pemerintah menargetkan seluruh siaran televisi di Indonesia beralih ke digital pada tahun 2025. Namun, implementasi ini menghadapi berbagai kendala. Banyak stasiun televisi kecil yang kesulitan melakukan perpindahan teknologi karena keterbatasan sumber daya. Di sisi lain, masyarakat di daerah terpencil masih menghadapi masalah infrastruktur yang membuat mereka sulit mengakses siaran digital.

Namun, perwakilan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menyuarakan kekhawatiran bahwa revisi UU Penyiaran dapat berdampak negatif terhadap industri televisi. "Kami mengakui pentingnya regulasi, namun perlu dipastikan bahwa aturan yang dibuat tidak memberatkan dan tetap memberikan ruang bagi inovasi," ungkap Ishadi SK, salah satu pengurus ATVSI.

"Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran," bunyi Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran.

Inilah salah satu pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian revisi UU Penyiaran juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dengan Dewan Pers soal sengketa jurnalistik. Dalam Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Revisi UU Penyiaran ini juga menarik perhatian organisasi masyarakat sipil dan pengamat media. Mereka menyoroti pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses revisi ini. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menekankan bahwa kebijakan penyiaran haruslah inklusif dan memperhatikan suara dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat umum, akademisi, dan pelaku industri.

Dalam beberapa bulan ke depan, pembahasan revisi UU Penyiaran diperkirakan akan semakin intensif. Diharapkan berbagai pihak dapat mencapai kesepakatan yang seimbang dan mampu menghadirkan regulasi yang mendukung kemajuan industri penyiaran sekaligus melindungi kepentingan masyarakat.

Kritik dan Kesimpulan

Kritik terhadap RUU Penyiaran mencakup aturan yang ketat yang dapat menghambat kreativitas dan inovasi, serta kekurangan dalam memungkinkan kemajuan teknologi dan perlindungan data pengguna. Selain itu, kebijakan yang terlalu ketat dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kebebasan berekspresi. Dengan harapan berbagai pihak dapat mencapai kesepakatan yang seimbang dan mampu menghadirkan regulasi yang mendukung kemajuan industri penyiaran sekaligus melindungi kepentingan masyarakat. Proses revisi ini harus dilakukan dengan transparan dan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan industri. Regulasi yang dihasilkan harus mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan pers, perlindungan publik, dan inovasi teknologi. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses revisi, diharapkan UU Penyiaran yang baru dapat menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan industri penyiaran yang sehat dan demokratis di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun