Mohon tunggu...
Riki Rafles
Riki Rafles Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pemerhati flora dan fauna amatir - gembel partikelir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Coreng-Moreng Suatu Hal

1 Juni 2012   23:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:30 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jam dinding menunjukkan waktu pukul 7 lewat 28 menit, aku tergesa bangkit dari kasur untuk memastikan ibuku belum pergi berangkat ke kantornya. “baiknya pagi ini” ucapku dalam hati, senang mendapati ibu masih kerepotan mencari sepatu sebelah kirinya. “mungkin ada dibawah lemari” kataku sembari menuangkan air ke dalam gelas. “keponakanmu semakin lama semakin nakal” kata ibu sembari tangannya berusaha meraih sepatu yang telah merepotkannya di pagi yang baik bagiku namun tidak untuknya.

Sebelum ibu keluar tak lupa aku mengingatkan agar melebihkan uang saku untukku hari ini. aku memiliki janji dengan seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Hati ini tak karuan semalaman setelah mendapat ajakan untuk bertemu. Aku berkhayal menerka-nerka seperti apa gaya berpakaiannya kini, Masihkah ia membuatku gemas ketika melempar pertanyaan yang bagiku kadang mengada-ada. Kuteruskan khayalan yang tak dapat kuteruskan dalam mimpi ini sembari mengoleskan selai kacang pada roti tawar.

10 menit berlalu, tetapi khayalan pagi hari ini hanya berputar-putar dari khayalan tadi malam saja, aku berpikir mungkin aku seharusnya memiliki ekspetasi baru terhadapnya. Tetapi aku tak mau, karena memang aku lebih menyukainya tetap seperti yang dulu. Gadis yang selalu bertanya ketika obrolan seharusnya sudah masuk ke tahap yang lain, gadis yang tak harus kutunggu lama karena waktunya tersita berhadapan dengan cermin.

***

Jam dinding menunjukkan waktu pukul 7 lewat 28 menit, aku masih belum mau bangkit dari kasur karena aku menyesali suatu hal. Malam yang tak ingin aku lalui lain hari, malam yang tak sesuai dengan ekspetasi ketika aku melangkahkan kaki dengan semangat walaupun rintik hujan membasahi kepala. Beruntung semalam aku pulang dalam keadaan sedikit mabuk, sehingga aku tak perlu bersusah payah memejamkan mata karena memikirkan suatu hal yang mengganjal.

10 menit berlalu, akhirnya kupaksakan tubuh untuk meninggalkan kasur. Kutatap halaman muka Koran hari ini. ada wajah Khadafy dengan senyum yang mungkin pada 30-40 tahun yang lalu bagi rakyat Libya adalah senyum yang menentramkan dan kini menjadi senyum pelecut kebencian. rasa benci yang tersadar karena mereka ternyata dicurangi.

Kosmetik diciptakan memang untuk memperindah, entah ketika seseorang tersenyum atau bahkan cemberut. Akan tetapi aku melihat kekusutan, kekotoran dan ketidak seimbangan pada foto Khadafy yang dimuat Koran hari ini. kalimat “hapus coreng-moreng diwajahmu dan tetaplah menjadi seperti yang dulu” tiba-tiba terlintas dikepala. Kubalik halaman Koran dan menyeruput kopi agar tak lagi terganggu akan suatu hal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun