Perhelatan pesta demokrasi di Indonesia telah berakhir seiring dengan pengumuman di pagi buta tanggal 21 Mei 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Sebuah strategi 'licik' yang dipertontonkan oleh lembaga negara, bermain kucing-kucingan dengan rakyat Indonesia. Awalnya, sesuai dengan jadwal pengumuman hasil pilpres dan pileg akan dilaksanakan pada 22 Mei 2019. Namun, berubah menjadi tanggal 25 dan selanjutnya tanggal 28. Tanpa disangka tanpa diduga, ternyata malah dimajukan pada tanggal 21 dan diumumkan pas tengah malam saat rakyat sedang tertidur lelap menanti sahur. Anehnya, pada saat pengumuman KPU menyatakan bahwa suara yang masuk telah mencapai 100% sedangkan di website SITUNG KPU masih berkisar di angka 92-an persen. Kentara sekali pembohongan yang dipertontonkan para teraju negeri ini.
Sebetulnya, apa yang ditinggalkan oleh perhelatan besar ini (yang disebut-sebut sebagai pelaksanaan pesta demokrasi terbaik dan terbesar di dunia)? Tak lain dan tak bukan adalah perpecahan. Saling maki, saling hujat, saling koar untuk mendukung calonnya terdengar dari Sabang sampai Merauke. Di media mainstream saling berdebat saling menjatuhkan membuat penontonnya menjadi geram dan ikut menghujat manakala calonnya dijatuhkan oleh kubu lawan. Begitulah yang terjadi selama hampir 8 bulan lamanya.Â
Kontestasi ini membuat kendali politik semakin tidak teratur. Bahkan gaung pilpres membahana seantero jagat mengalahkan pileg yang terkesan adem. Media sosial setiap harinya berlomba-lomba menyuguhkan berita-berita yang terkadang lebay, berlebihan dalam membela calonnya sehingga tidak lagi mengindahkan norma-norma dan aturan main di alam maya. Akibatnya puluhan orang telah ditangkap dan dijadikan tersangka bahkan terpidana karena melanggar UU ITE. Saling serang, saling back up, dan saling menjatuhkan menjadi santapan masyarakat setiap hari di media sosial. Inilah yang semakin meruncingkan perbedaan sehingga menajam dan menghujam. Perpecahan semakin terasa hatta setelah KPU melaksanakan hajatnya yang terlalu dini mengumumkan hasil.
Aksi demonstrasi dimulai setelah pengumuman ini. Ratusan hingga ribuan massa tumpah ke jalan dan berhenti di kantor Bawaslu. Tuntutan agar kecurangan-kecurangan (menurut versi yang kalah) diselidiki dan diberi sangsi membuat eskalasi demonstrasi semakin massif. Tensi aparat menjadi naik sehingga akhirnya rusuh serta ratusan menjadi korban dan ditangkap. Aksi yang sebenarnya damai dan tertib karena hanya diisi dengan acara berbuka bersama, taushiyyah dan tarawih, dicemari oleh seklompok provokator yang ingin mengacaukan suasana sehingga timbul chaos, rusuh dengan pihak aparat.Â
Siapa yang menjadi korban? Tuduhan akhirnya jatuh kepada ummat Islam yang melaksanakan aksi tersebut. Meski telah diklarifikasi, namun stigma negatif bahwa massa yang diawal berada di seputaran gedung bawaslu adalah massa perusuh. Stigma inilah yang terus dihembuskan bahkan oleh orang-orang Islam sendiri yang melihat aksi tersebut adalah aksi konyol tak ada guna. Berbagai postingan muncul di media sosial yang rata-rata akun penggunanya adalah orang Islam. Belum lagi para elit politik yang beragama Islam turut serta menghujat, memaki serta menyalahkan aksi ini karena dianggap merusak tatanan berbangsa.
Inilah yang terjadi. Sesama ummat saling menghujat. Latar belakangnya tak lain adalah kepentingan politik semata. Agama saat ini telah dipolitisasi. Ummat Islam diobok-obok. Opini masyarakat awam digiring bahwa di Indonesia saat ini kaum radikal atau ekstrimis ingin menguasai negara dengan sistem khilafah. Inilah yang selalu digaungkan ke permukaan. Mereka yang berbuih-buih memprovokasi ummat Islam akhirnya menjadi pahlawan yang dielu-elukan. Mereka dibela, mereka disanjung, dan bahkan rela mati-katanya- untuk mempertahankan eksistensinya. Padahal orang-orang seperti inilah yang sebenarnya merusak dan mendistorsi Islam menjadi agama yang menakutkan bagi orang-orang. Islam adalah agama keras, agama yang suka berperang, suka berdemonstrasi, suka mengacau dan lain sebagainya sehingga penggiringan opini tersebut berhasil. Dimana orang-orang ini? Mereka adalah orang-orang Islam yang berada di partai-partai politik nasionalis. Mereka tidak membela agamanya karena bagi mereka kepentingan partai adalah nomor satu. Mereka tidak akan beraksi keras jika Nabi dihina dan dilecehkan. Namun ketika pemimpinnya dihujat, tidak menunggu waktu lama laporan ke kepolisian pun masuk. Padahal pemimpinnya itu belum tentu beragama dengan baik. Belum tentu paham dengan ajaran Islam. Belum tentu bisa membaca al-Quran. Belum tentu hafal bacaan sholat. Pemimpin inilah yang mereka bela mati-matian sampai menghujat dan menghina saudara muslim lainnya di kubu yang berlawanan.
Allah sesungguhnya telah menunjukkan tanda-tanda kebesaranNya kepada rakyat Indonesia. Peristiwa BTP (Ahok) melecehkan QS. Al-Maidah ayat 51 membuat umat Islam marah, bangkit melawan pelecehan tersebut. Apa yang terjadi pada peristiwa 411, 212 dan seterusnya menyerukan ummat Islam bersatu melawan para peleceh agama, peleceh ayat-ayat Allah. Dan itu terjadi. Gelombang ummat Islam yang memenuhi ibukota negara menuntut agar Ahok ditangkap akhirnya terkabulkan meski dengan intrik-intrik dan ditengarai ada rekayasa. Meskipun terpidana, Ahok tidak pernah 'dirutankan' tapi hanya menghuni sel di mako brimob dengan fasilitasnya sampai dia keluar. Apa tanda-tanda kebesaran Allah yang dimaksud disini? Yaitu Allah tunjukkan kepada ummat Islam di Indonesia bahwa ternyata banyak orang-orang munafik yang lebih membela manusia daripada ayat-ayat Tuhannya. Banyak orang Islam yang mengidolakan sang penista agama alih-alih ayat Allah. Hal ini terbukti saat pilkada DKI Jakarta yang lalu. Ahok didukung oleh 4 partai nasionalis (PDIP, Golkar, Nasdem, dan Hanura) dan 1 partai Islam (PPP). Meskipun nasionalis, dalam tubuh partai bercokol para tokoh Islam atau yang beragama Islam. Sedangkan PPP tidak diragukan lagi bahwa ia sejak dulu menamakan dirinya partai Islam dengan lambang Ka'bah. Tentunya anggota partainya beragama Islam. Alih-alih membela ayat Allah yang dilecehkan, malah mereka mendukung terpilihnya Ahok menjadi gubernur dan lucunya mengadakan solawatan untuk kemenangan Ahok. MaasyaAllah, tidak murka kah Allah kepada ummat Islam di Indonesia ini dengan kelakuan seperti itu? Ayat Allah dilecehkan oleh orang non-muslim. Tapi ummat Islam dan partai Islam bersikukuh menjadikannya pemimpin. Jadi, apa sebenarnya yang mereka cari? Sesungguhnya mereka hanya mencari laknat Allah. Walau bagaimanapun, Allah Maha Kuasa dengan membolak-balikkan hati manusia sehingga Anies-Sandi yang menjadi gubernur.
Hal ini terjadi kembali di pilpres dan pileg 2019. Ummat Islam kembali terpecah. Partai pendukung penista agama kembali meraja lela dengan usungan calonnya yang ditengarai tidak memenuhi janji-janji ketika dia berkuasa. Yang menjadi persoalan disini adalah mengapa ummat Islam masih mau memilih partai-partai pendukung penista agama ini? Apa yang terjadi dengan ummat Islam di Indonesia? Hal ini menandakan bahwa syahwat kekuasaan mengalahkan syahwat agama. Agama dilecehkan tidak jadi masalah. Nabi dihina pelakunya tidak diproses. Namun, kalau ketua partainya (yang tidak bisa mengucapkan sholawat dengan benar) dihujat dan dihina, tak lama masuklah laporan ke kepolisian. Muslim yang berada dalam partai tersebut celakanya ikut-ikutan membela tuannya daripada membela ayat-ayat Allah. Partai utama pendukung penista agama ini kembali menjadi pemenang pada kontestasi 2019 ini. Intinya adalah, sekuler dalam hal beragama mulai tampak di negeri ini sebenarnya walau selalu dibantah. Agama tidak menjadi pedoman yang mesti ditaati. Pedoman yang harus dibaca adalah bagaimana mengembangkan partai dan mengalahkan lawan dengan segala intrik dan cara. Tak masalah lintas agama didalamnya. Tak masalah ada umat Islam didalamnya yang agamanya dihina dan dilecehkan. Yang penting adalah kuasai parlemen dan kuasai pemerintahan.
Akibatnya, murka Allah yang turun. Lihatlah kondisi bangsa Indonesia sekarang ini akibat pecahnya ummat Islam. Perpecahan yang saling sikut, saling menjatuhkan, saling menyalahkan, saling klaim, saling memprovokasi, menyebabkan pondasi Islam menjadi rapuh. Silih berganti bencana diturunkan Allah. Gempa, banjir bandang, gunung meletus, tsunami dan yang lainnya sebenarnya sinyal yang dikirim Allah kepada ummat Islam. Banyak yang salah di tubuh umat Islam di Indonesia ini. Hal ini dikarenakan sistem perpolitikan yang mencoba memisahkan agama dari negara. Belum padunya ummat Islam menyebabkan kekuasaan dipegang oleh para nasionalis yang berfikir praktis tanpa melibatkan agama didalamnya. Agama hanya untuk acara seremonial. Agama hanya disanjung ketika ada acara keagamaan tapi prakteknya nihil.
Perpecahan pandangan politik inilah yang menyebabkan umat Islam kalah di negeri ini. Kekalahan dalam pandangan politik serta kekalahan dalam menyatukan visi dan misi. Mereka dengan cerdik memanfaatkan kelemahan tersebut untuk mendongkrak signifikansi suara di parlemen sehingga seluruh kebijakan negeri ini bisa disetir dan lagi-lagi tidak menguntungkan ummat Islam. Jadi, sesungguhnya ummat Islam kalah dalam kancah perpolitikan di negeri ini. Kalah kompak. Tidak satu suara sehingga mau dimanfaatkan. Akhirnya muncullah slogam: "Dari ummat Islam, oleh ummat Islam, untuk menjadi partai penguasa". Wallahu A'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H