Mohon tunggu...
Rafiqrh
Rafiqrh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kolektif Absolut

GhostBoster

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ambisi Meraih Kursi, Hingga Rela Korupsi

13 Desember 2021   09:24 Diperbarui: 13 Desember 2021   09:42 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu merupakan sebuah sistem demokrasi untuk memilih serta memberi kedaulatan penuh kepada rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat guna mewakili suara mereka di dalam pemerintahan. Pemilihan umum juga membuat setiap orang dapat menduduki sebuah jabatan di instansi pemerintahan seperti Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Sedangkan menurut salah satu ahli, Pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat mengenai arah dan kebijakan negara kedepan.

 Paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum, yaitu memungkinkan peralihan pemerintahan secara aman dan tertib untuk melaksanakan kedaualatan rakyat dalam rangka melaksanakan hak asasi warga Negara (Morissan). Dengan adanya sebuah pemilu masyarakat mampu menilai serta secara tidak langsung menyeleksi kandidat mana yang sangat cocok untuk menduduki di kursi pemerintahan melalui visi- misi yang diberikan oleh para calon wakil rakyat. 

Serta dalam hal ini setiap kandidat yang masuk harus mampu menyalurkan aspirasi rakyatnya atau penyambung lidah rakyat ke parlemen sehingga segala suara tentang atau segala bentuk keluh kesah mereka bisa terdengar dan dapat memberikan sebuah perubahan terhadap kondisi dan keadaan mereka. Seperti yang kita tahu bahwa pemilu memberikan sebuah kebebasaan bagi setiap rakyatnya yang ingin ikut berkontribusi langsung dengan memberikan perubahan berupa inovasinya terhadap kondisi di setiap kota yang mereka tempati. Dengan begitu, maka akan terjadi perubahan yang efektif dan sesuai dengan keinginan rakyat dalam mengelola suatu pemerintahan.

Sehingga hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Samuel Hutington, Demokrasi akan tercipta apabila para pemberi keputusan yang kuat dalam suatu sistem pemerintahan dipilih melalui suatu proses pemilihan umum yang jujur dan adil secara berkala. Didalam sistem tersebut, para kandidat atau calon pemimpin bebas untuk melakukan persaingan guna memperolah suara. Selain itu, negara yang telah berusia dewasa berhak untuk memberikan suara dalam sistem tersebut. Artinya sebuah sistem pemilu yang bernegara demokrasi harus sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh samuel hutington yang dimana pemerintah harus melakukan pemilu secara jujur dan adil.

Kepercayaan masyarakat kini dengan pemerintah seolah -- olah semakin hari semakin menurun nan luntur. Dengan banyaknya oknum -- oknum pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, jual beli jabatan, penyalahgunaan dana negara, dan lain sebagainya. Seolah hal ini dapat menggambarkan gagalnya sebuah pemilu yang bersistem demokrasi dimana setiap warga negara di berikan hak dalam berpolitik untuk menentukan salah satu pilihan dalam kontestasi pemilu. 

Seperti contoh dalam pemilihan umum yang terjadi pada tahun 2014 lalu memperlihatkan bahwa banyaknya data dan survei menyebutkan nilai partisipasi politik aktif yang terjadi di Indonesia masih terbilang sangat rendah berada di angka 30%. Artinya dalam hal ini peran partai politik dapat di bilang gagal dalam menyeleksi serta melahirkan calon -- calon mana saja yang sangat berkompeten dalam menduduki lembaga di pemerintahan. Pada tahun itu pula banyak para pejabat yang tersangkut kasus pidana korupsi yang melibatkan para pemimpin -- pemimpin negara yang sangat membuat pengaruh citra pemerintahan menjadi buruk di mata masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya biaya politik di Indonesia begitu tinggi, di tahap awal seorang calon sudah harus memberikan sebuah mahar politik kepada parpol guna memperoleh dukungan, lalu tahapan kampanye juga membutuhkan biaya yang begitu mahal guna mempengaruhi rakyat bahkan membeli suara rakyat, masuk di tahapan pencoblosan dana yg dikeluarkan juga tidak sedikit untuk membayar saksi saksi di tiap TPS, hingga tahapan akhir yaitu sengketa apabila calon tidak menerima hasil pemilu juga seringkali dilakukan dengan cara menyogok hakim guna meloloskan ambisi polutiknya. Fenomena moneypolitic bukanlah hal baru di Indonesia. Sebuah sistem demokrasi dibangun dibawah kekuasaan uang dan bukan lagi melalui kehendak rakyat. Hal ini adalah berarti bahwa bangsa kita sedang mengalami kemunduran dalam berdemokrasi ketika uang -- lah yang menjadi panglima dari demokrasi tersebut.

Terlebih lagi dalam waktu dekat ini terjadi kasus jual beli jabatan yang terlibat di dalam kementerian agama dan juga jual beli jabatan rektor. Kejadian ini mengisyaratkan bahwa menduduki sebuah kursi kekuasaan tidak semurah yang di bayangkan, tetapi harus memiliki modal yang cukup besar untuk mampu menduduki sebuahkursi kekuasaandan tidak cukup hanya dengan kapasitas dan kapabilitasyang dimiliki oleh seseorang.

Menurut pendapat penulis, tidak menutup kemungkinan apabila banyak para pejabat menyalahgunakaan wewenang dan kekuasaannya demi memperkaya dirinya melalui jalur politik. Karena gaji yang diterima nya dari negara tidak mencukupi untuk menutupi dana kampanye yang telah dikeluarkan sebelumnya, hanya dengan cara korupsi dan penyelwengan itu mereka dapat dengan mudah mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan sebelumnya, serta menjadikan sebuah program kerja yang akan di laksanakan di salah gunakan sebagai pundi -- pundi akan kekakayaan mereka sehingga banyak dari pejabat maupun pemimpin di setiap daerah yang terlibat dalam kasus pidana korupsi. Moral yang di bentuk oleh partai politik terasa gagal ketika banyaknya kandidat yang di usung dan memenangkan kontestasi pemilu terlibat dalam kasus korupsi, kini menjadi cerminan buruk bagi partainya sendiri.

Korupsi diyakini sebagai kejahatan yang sangat luar biasa yang sangat sulit di berantas. Hampir semua sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia tidak steril dari perilaku korupsi. Rezim boleh berganti label "reformasi", namun kelakuan, tabiat, watak tetap saja sama dengan rezim terdahulu, rezim korup Orba. Jargon "berantas korupsi" tak lebih hanya barang dagangan di ajang kampanye pemilu. Faktanya korupsi kadang membudaya dan semakin menggila. Segala upaya pemberantasan korupsi selalu mendapat perlawanan yang sengit dari para koruptor dan antek-anteknya. Hampir- hampir menjadi kata yang mustahil untuk mengenyahkan korupsi dari negeri ini.

Namun demikian, sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita tak boleh lelah melawan kejahatan luar biasa ini. Lawan korupsi dengan tanganmu, mulutmu, pikiranmu, atau sekedar menyempatkan diri untuk menggoreskan pena menulis karya sastra. Ingat, sebuah mata pena lebih tajam dari seribu mata pedang sekalipun. Lawan korupsi sekarang juga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun