Setelah melalui empat debat capres dan cawpres, muncul pemikiran mengampanyekan materi debat melalui berbagai metode kampanye. Tujuan utamanya adalah bagaimana memikat hati rakyat akan janji kedua pasangan calon capres dan cawapres yang diumbar dalam empat debat lalu.
Moment paling ditunggu-tunggu mengampanyekan materi debat yakni pada debat kelima yang berlangsung 13 April 2019 mendatang, tepat hari terakhir kampanye terbuka. Berbagai pandangan, visi misi dan komitmen kala memimpin nanti telah tersampaikan. Â
Kita ketahui bersama, banyak persoalan baru yang muncul selama empat debat terakhir. Fenomena keseleo lidah Joko Widodo menyebut data lahan yang dimiliki Prabowo Subianto memantik emosi kubu capres Prabowo. Serangan balik juga tak luput dari kritikan tentang filosofi bagi-bagi tanah yang terkesan formalitas, namun kriniminalisasi hanya dipandang sebelah mata.
Belum lagi utasan delusional impor besar juga meramaikan peraturan argumen kedua paslon membenarkan pemahaman dan pemikirannya masing-masing. Belum lagi perdebatan soal pertahanan dimata Jokowi dan Prabowo sangat kontradiktir. Entah karena Prabowo seorang mantan militer berpangkat Jendral, sehingga memahami betul bagaimana pertahanan negara. Mungkin saja Jokowi juga sangat memahami pertahanan negara dari perspektif pengelolaan anggaran.
Kegaduhan yang ditimbulkan paska empat debat terakhir meramaikan ruang publik dan media sosial. Masing-masing kubu mempertahankan argumentasi dilengkapi data-data akurat. Menariknya, persoalan kapasitas penguasaan materi dilihat dari memakai kacamata dan tidak, memakai narasi dan tidak, mencatat selama debat atau tidak, juga ikut diperdebatkan.
Semakin menarik, sifat tempramental Prabowo dan keseleo lidah Jokowi dipolarisasi sehingga masuk dalam daftar penilaian seorang pemimpin. Entah apa landasannya, tentu itu jadi lebih menarik.
Masyarakat tidak terlalu tertarik dengan visi misi paslon. Dengan polarisasi seperti itu, masyarakat cenderung melirik kapasitas pribadi masing-masing paslon. Jokowi memilih KH Ma'ruf Amin dinilai jadi satu kolaborasi pesimis. Ada pula yang mengapresiasi kejelian Jokowi memilih pendamping repserentatif ulama. Di sisi politik islam, bisa saja membangkitkan kembali historis kepemimpinan Gus Dur yang juga seorang ulama terkemuka.
Parahnya, pada konteks privasi, Ma'ruf Amin terkesan memaksanakan diri untuk tampil bugar memimpin negara seluas Indonesia. Ada yang lebih menarik, masyarakat menyimpulkan korelasi antara istri muda dan jiwa muda Ma'ruf Amin sebagai wujud kapasitas memimpin.
Di sisi lain, Prabowo mimilih Sandiaga Uno sebagai kolaborasi optimis. Militer dan ekonomi adanya dua garis yang berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Logika sederhananya, ilmu keuangan yang didapatkan Sandi selama menempuh bangku perkuliahan dan pengalamannya dibidang ekonomi meyakini negara tampil seperti macan asia. Namun di sisi militer, banyak yang pesimis bahwa Indonesia akan kembali lagi ke Orde baru. Ada pula yang optimis ketegasan Prabowo bisa mematahkan mata rantai invasi asing di mana-mana. Tidak seperti Jokowi, kelehaman itu dimanfaatkan pihak asing memporak-porandakan sumber daya alam Indonesia.
Data dan analisis kedua paslon tentu berbeda. Meskipun tidak begitu jauh, masyarakat masih menerima semuanya dengan akal sehat. Akan tetapi, untuk menyampanyekan materi debat sangat rumit untuk diterima.