Penetapan keterlibatan beberapa pejabat Kementerian Pekerjaan Rumah dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan perusahaan atas dugaan dugaan suap proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR tahun anggaran 2017-2018 menjadi kebar gembira buat masyarkat Indonesia, khususnya masyarakat di wilayah Palu dan Donggal yang baru terkena musibah.
Sebenarnya, masyarakat akan lebih gembira lagi jika hukuman mati benar-benar diterapkan. Tragis, kenyataan yang sebenarnya-benarnya adalah dana kebencanaan juga dikorupsi oleh mereka yang mau mengambil untung. Padahal, kehidupan pasca bencana merupakan pertarungan antara hidup dan mati, masih  saja dikorupsi.
Sekadar merefresh kembali ingatakan kita, mengutik pemberitaan yang dilansir Kumparan.com (30/12/2018) indikasi suap proyek air minum di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah melibatkan Teuku Moch Nazar selaku Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Teuku adalah pejabat yang mengurusi pengadaan pipa air di Donggala dan Palu dengan menerima menerima uang Rp2,9 miliar untuk pengadaan pipa HDPE di Bekasi, Donggala, dan Palu. Teuku Moch Nazar menerima suap dari sejumlah petinggi PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE) dan PT Tashida Perkasa Sejahtera agar lelang dimenangkan oleh kedua perusahaan itu.
PT WKE diatur untuk mengerjakan proyek bernilai di atas Rp 50 miliar, PT TSP disiapkan untuk mengerjakan proyek bernilai di bawah Rp 50 miliar. Â Pada tahun anggaran 2017-2018, kedua perusahaan ini memenangkan 12 paket proyek dengan total nilai Rp 429 miliar. Proyek terbesar adalah Pembangunan SPAM Kota Bandar Lampung dengan nilai proyek Rp 210 miliar.
Selain Teuku, KPK juga menetapkan tiga pejabat Kementerian PUPR lainnya sebagai tersangka, Mereka adalah Anggiat Simaremare selaku Kepala Satuan Kerja Sistem Penyediaan Air Minum Strategis Lampung, Meina Woro Kustinah selaku PPK SPAM Katulampa, dan Donny Sofyan Arifin selaku PPK SPAM Toba 1.
Mereka diduga menerima suap senilai Rp 3,66 miliar dari Lily Sundarsih Wahyudi selaku Direktur PT Wijaya Kusuma Emindo, Budi Suharto selaku Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo, Irene Irma selaku Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera, dan Yuliana Enganita Dibyo selaku Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera. Â Para petinggi dua perusahaan swasta itu juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Melihat penjelasan singkat, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi batuan kebencanaan sepantasnya mendapat tempat yang layak. Â Hukuman mati adalah ancaman berat yang dapat diberikan kepada para tersangka berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang berbunyi, Ayat 1 setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya, Ayat 2 dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Lebih jauh lagi, Â keterangan "keadaan tertentu" dijelaskan hukuman mati diberikan apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yakni saat bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam krisis ekonomi dan moneter.
Dalam kondisi seperti ini, KPK harus konsisten dan berhati-hati menerapkan pidana mati kepada para pelaku korupsi bantuan kebencanaan. Sebab, jika pada akhirnya orang-orang dibalik kasus itu memainkan perannya, bisa saja pidana mati hanya jadi wacana saja. Sedangkan para pelakunya bebas dan tertawa.
Jangan Biarkan KPK Berjuang Sendiri