Seandainya para pembaca ditanya tentang profesi apa yang paling membutuhkan kesabaran, ketelatenan dan ketulusan? tentu mayoritas menjawab salah satunya adalah guru.
Guru merupakan jembatan yang mempertemukan seseorang dengan cita-citanya. Bahkan, the founding father membangun negeri ini lewat pendidikan.
Guru memang satu profesi yang banyak digeluti. Tugas dan tanggungjawab sebagai guru dinilai berkah didunia pendidikan itu sendiri. Â
Namun disisi lain, ternyata banyak persoalan guru jadi perbincangan publik. Apalagi ditahun politik sekarang ini, isu guru sangat rentang jadi komoditi politik. Â Para politisi sangat getol mendulang suara dari isu guru dengan janji wing solution. Â Janji-janji politik seperti ini semuanya masih dipandang janji manis yang hanya ramai pada masa kampanye dan berakhir menjadi angin lalu saja.
Persoalan guru yang selama ini sering diangkat tidak melulu tentang besarnya gaji, distribusi penempatan guru yang tidak seimbang, kualitas guru tidak merata, serta kesejahteraan guru yang tidak memadai. Â Namun, ada aspek lain yang lebih penting untuk memastikan kehadiran guru didunia pendidikan. Seperti moralitas hukum yang selama ini kurang disinggung banyak orang.
Dalam kehidupan manusia, moral tanpa hukum tidak berdaya dan hukum tanpa moral tidak bernilai. Jelasnya, hukum yang baik adalah hukum yang bersendikan moral. Secara praktis, Â hukum mampu melakukan perubahan terhadap masyarakat, berdimensi etis dan mengandung nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai moral yang hidup setiap individu sangat berpengaruh menciptakan keharmonisan dan kedamaian.
Fenomena anomali moralitas hukum kemudian menjadi nyata kala seorang siswa SMK Negeri 2 Makassar, MA (15), dan ayahnya, Adnan Achmad (43) di Makassar Sulawesi Selatan mengeroyok guru sendiri akibat satu hal yang dinilai tidak layak diberikan kepada gurunya tersebut. Parahnya lagi, para orang tua mengamini sikap anaknya MA sebagai tindakan benar.
Selain itu,  contoh lemahnya moralitas hukum terjadi terhadap guru  SMU NU 03 Kendal diJawa Tengah Joko Susilo oleh disiswanya sendiri. Meskipun hanya candaan, tapi apa yang dipertontonkan lewat video viralnya mencerminkan hal demikian.
Pindah ketempat lain, baru-baru ini ditujukan kepada honorer guru di Nusa Tenggara Barat (NTB) yakni Baiq Nuril Maknun atas tindakan mantan SMA7 Mataram Muslim. Akan tetapi, Â dirinya justru ditahan karena melanggar UU ITE. Walaupun pada akhirnya PK jadi jalan selanjutnya dan atasannya tersebut dilaporkan ke polisi.
Dalam dunia pendidikan, sebenarnya moralitas hukum menjadi pondasi kehidupan para guru di Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sesuai dengan pendapat Sajipto Rahardjo bahwa hukum menjadi sarana yang makin diterima dan dipakai (2011:95). Seharusnya didunia pendidikan moralitas hukum jadi sarana menyikapi fenomena yang ada. Bukan menjadi politik sebagai cara pandang utama. Jika ini yang terjadi, wajar isu guru jadi komoditi politik jelang momentum politik ditingkat apapun.
Minimnya perhatian terhadap banyaknya anomali moralitas hukum berdampak pada kondisi guru di masa akan datang. Berkaca dari berbagai fenomena  tentu para pembaca sudah bisa menebak seperti apa guru dimasa akan datang. Sebaliknya, jika moralitas hukum ini hidup dan menjadi pengarah didunia pendidikan, masa depan guru bisa saja melebihi ekspektasi. Tidak memutup kemungkinan, profesi guru mendapat penghargaan dari Negara, seperti dinegara-negara lain.