Padahal, budaya berpakaian serupa pun juga dianut oleh perempuan-perempuan Jawa dan Bugis sebelum masa kononial dahulu (saya keturunan Jawa dan Bugis, obrolan ini saya dengar dari para tetua di keluarga saya). Masyarakat adat di Papua juga masih mengamalkan budaya tersebut. Lantas, apa benar zaman dahulu perempuan banyak diperkosa karena sering pamer buah dada? Kalau kasusnya adalah tindak pemerkosaan antara kompeni atau nippon dengan pribumi sih wajar saja. Toh mereka tidak biasa lihat buah dada diumbar-umbar. Kalau pribumi dengan pribumi? Apa kasus tersebut akrab terdengar di telinga kita?
Kenapa dulu, wanita dapat melenggang di jalan dengan nyaman dan aman tanpa penutup dada?
Kenapa sekarang, wanita berpakaian lengkap kerap jadi korban pemerkosaan?
Sekarang coba bandingkan wanita bercadar dengan yang tidak bercadar, mana yang lebih atraktif di mata para laki-laki? Secara logis, mereka akan menjatuhkan pilihan pada wanita yang wajahnya tidak ditutupi kain. Tapi, apakah stimulus visual merek benar-benar bekerja seperti demikian? Apakah sempat ada pertanyaan “apa yang ada dibalik kain itu” di otak kalian?
Hal demikian berlaku juga pada isu yang sedang saya bicarakan ini. Survey yang diselenggarakan oleh Askmen.com, menyatakan bahwa kebanyakan lelaki menyukai payudara wanita karena tabu yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Semakin ditutupi, stimulasi visual yang dirasakan akan semakin tinggi.
Banyak yang membenci feminisme karena terus-terusan menyalahkankan masyarakat atas semua hal yang dia permasalahkan. Nah untuk hal ini, siapa yang harus disalahkan? Siapa oknum yang merubah cara pandang seksual dalam masyarakat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H