Warna senja menyoroti bangunan reyot di atas puncak bukit kembar. Belukar-belukar di sana ditebas habis, hingga yang nampak hanya surau kecil dari anyam. Saat hembus angin gunung menusuk rusuk, seekor pejantan gagah menggoyang jenggernya, menunggu senandung indah berkumandang di langit.
“Allahuakbar… Allahuakbar…”
“Panggilan dari Allah pun tak bisa membuat mereka bangun, apalagi kokok-an-ku yang tak berirama ini,” nalurinya berkata demikian, hingga ia murung dan memutuskan untuk mengurungkan niatnya.
Tidak jauh dari tempatnya berdiam, tiga orang lelaki tua nampak berjalan berdampingan, melepas terompahnya sebelum menginjak ubin surau. Tubuh tua mereka seperti rapuh, tapi kalau urusan ibadah, stamina mereka mirip seperti milik Bima.
“Wak! Tunggu Wak!” teriak seorang lelaki tengil dari kejauhan, ia berlari dan berharap empat orang itu bersedia menunggunya beberapa detik. Sayang, ia kurang cepat satu detik sebelum Pak Toha, imam sholat subuh saat itu menghela nafas pendeknya untuk melontar takbir.
“Allahu Ak...”
Belum sempat takbir pertama menggema, tabuh kentungan telah meracau kearah surau. Mantra-mantra aneh diucap berkali-kali, menggoda sang imam untuk mengurungkan takbirnya.
“Allahu Akbar!”
Tabuh itu makin membising, getarnya bahkan dapat dirasa oleh kening mereka ketika sujud. Seorang lelaki berteriak lantang, mengacungkan obornya dengan gagah. Namun empat tetua kampung itu tetap tak menggubris perlakuan mereka.
“Kalau kalian tidak mau berhenti, tempat ini kami bakar!”
Bertepatan dengan salam terakhir, lelaki itu lancang memasuki surau. Dengan obor dan terompah kotornya yang penuh lumpur. Matanya menyorot tajam wajah keriput empat tetua itu. Kali ini diam, menghemat energi kemarahannya yang akan menjadi sangat sia-sia bila ia luncurkan sekarang. Ia menunggu tetua-tetua itu merampungkan do’anya, tanpa menghiraukan keberadaan pemuda tengil diujung saf.
“Assalamu’alaikum Pak Hamid, ada apa Pak?” sapa Wak Toha. Keramahannya terdengar palsu tak sejalan dengan mimik wajahnya yang tak dapat memungkir rasa panik.
“Sudahlah Pak. Tak usah berbasa-basi lagi lah. Masalah ini harus cepat dihentikan sebelum memakan korban lebih banyak,” ketus Hamid.
*****
Debu-debu halus melayang ringan di udara, sebuah rotan menghempas selembar tikar sholat yang hanya muat diisi enam orang dengan barisan rapat. Lelaki itu menutupi hidungnya dengan telapak tangan, mencegah debu-debu itu untuk masuk ke rongga hidungnya.
“Run, sarapan dulu sana,” tegur Wak Toha.
“Nanti saja Wak. Tanggung,” tolak Badrun sopan. Ia masih terus memukuli tikar sholat itu dengan rotan.
“Makan dulu, biar Uwak yang lanjutkan,”
Badrun menyerahkan rotan itu dengan enggan. Ia melangkah ke teras surau, menemui tiga orang tetua lainnya yang tengah bercanda, menikmati masa tua mereka yang entah kapan periodenya akan sampai.
“Wak Toha mana? Tadi katanya mau panggil kau aja, tapi kenapa dia juga hilang?”
“Itu Kas, tadi dia menggantikan saya nepokin sajadah. Dia suruh saya sarapan dulu,” ujar Badrun menjelaskan. “Ngomong-ngomong Kas, tadi subuh itu ada apa ribut-ribut?”
Seseorang yang dipanggil Akas itu hanya mengangguk mengerti dan diam. Tak baik membuang waktunya untuk berceloteh tiada guna. Lebih baik ia gunakan sisa hidupnya untuk beribadah.
“Heh Amir, kau kenapa diam? Anak itu sedang tanya sama kau lah,”
“Aku cuma malas mengingatnya. Kau sajalah yang beri tahu dia, Hab!” ujar Akas Amir singkat.
“Aku juga tak mau lah. Somad aja lah yang bagi tahu,”
HUK!
Air teh yang baru saja diteguk lelaki tua bernama Somad itu tumpah ruah di tikar surau. Jantungnya berdegup kencang, memompa darah ditubuhnya untuk naik hingga ke ubun-ubun. Gelas liat itu di hentaknya kasar ke lantai.
“Mereka itu bodoh! Mana ada setan laknat jadi penunggu surau ini! Kalaupun ada itu pasti Jin Islam yang menjaga surau, bukan setan yang punya barang panjang!” tukas Somad berapi-api.
Badrun mendongak tak mengerti, ia hanya berdiri dan meletakkan kedua telapak tangannya di bahu Somad. Memijitnya lembut, berusaha meredam amarah tetua itu. Ia tak ingin susah membopong lelaki itu ke kota kalau-kalau penyakit jantung koronernya kumat. Somad mereda, nafasnya kembali normal begitupun detak jantungnya yang mulai stabil.
“Tapi kan anggapan mereka cukup masuk akal,” tandas Amir.
“Sudah aku bilang mereka itu bodoh! Masuk akal apanya, hah? Percaya saja sama takhayul wewe gombel! Kau juga termasuk bodoh, Mir. Itu cuma akal-akalan orang tua buat ngelarang anaknya supaya tidak main malam-malam. Kita ini orang tua, umur sudah hampir se-abad!” tanggap Somad kasar. Kali ini Badrun menjauh, ia sudah pasrah kalau-kalau penyakit tetua itu kumat lagi.
“Dulu kau patuh benar sama orang tua. Mana ada kau tau cerita. Malik buktinya!” kali ini Wahab buka suara.
“Malik yang gila itu? Tak usah diingat lah, dia sudah mati dipasung. Kalau kau sebut-sebut dia lagi, tak bakal dia tenang di alam kuburnya,” seringai Somad.
“Tapi dia benar-benar diculik wewe gombel. Waktu main tungkupan, dia benar-benar hilang, Mad,” jelas Amir penuh kesungguhan. “Aku main sama dia waktu itu,”.
“Malik itu tak mau balik kerumahnya karena umaknya jahat sama dia. Dan pas ditemukan orang kampung dia masih tak mau pulang. Dia takut sama umaknya makanya dia gila,” Somad masih kukuh dengan pendiriannya.
“Darimana kau tahu umak-nya jahat sama dia? Jangan suudzon, Mad! Astaghfirullah,”
“Malik itu tetangga aku. Suara umak-nya yang suka bentak-bentak dia sering kedengaran sampai kerumahku. Buktinya saja pas tahu dia gila, Malik langsung dipasung sama umaknya. Padahal Malik itu tidak gila-gila amat. Dia tak pernah mengamuk berontak. Selama dipasung pun kerjanya cuma diam murung,”
Fikiran Badrun mengawang, ia teringat adik perempuannya yang selalu tersiksa oleh orangtuanya. Dicaci maki dan tak pelak, permainan tangan juga sering dilayangkan pada adiknya. Semua itu terpaksa diembannya hanya karena adiknya lahir sebagai perempuan. Orangtuanya mengemban paham, anak perempuan itu tak bisa meneruskan keturunan dan kerjanya hanya menyusahkan. Minta dilindungi, diberi perhatian lebih, berbeda dengan lelaki yang dapat berdiri dengan sendirinya. Sebenarnya Badrun heran, bukankah ibunya juga perempuan? Apakah dulu ibunya mendapat perlakuan serupa dengan apa yang dirasa adiknya?
Wahab dan Amir pun diam. Benaknya kehabisan kata-kata. Toh mereka juga bukan korban wewe gombel. Lantas, percaya perkataan Somad yang satu tahun lebih tua dari mereka pun juga tak ada salahnya. Wahab terkesiap, ia teringat sesuatu yang kali ini mungkin dapat mematahkan Somad.
“Tapi dia kan ditemukan di bambu kuning. Orang jaman dulu bilang bambu kuning itu rumahnya wewe gombel,”
“Berarti omongan Akas Wahab saja. Kan Akas orang jaman dulu,” canda Badrun yang tak dihiraukan oleh tiga tetua itu. Ia mendelik kecewa.
“Kau ini tak bisa berfikir apa? Bambu kuning itu lebat dan rapat. Kalo sembunyi disitu tak bakal bisa ditemui orang. Makanya si Malik sembunyi disitu. Orang kampung jaman dulu dan jaman sekarang bodohnya sama saja. Lagipula kan bambu kuning itu sudah ditebang,”
“Tapi surau ini dianyam dari bambu kuning itu!” seru Wahab dan Amir kompak. Mereka seperti telah menyiapkan ancang-ancang untuk mengalahkan Somad di perdebatan kusir ini.
“Setan itu takut sama Allah. Kalau surau ini disholati terus dia pasti tak berani mendekat. Memangnya anak siapa lagi yang hilang? Sampai-sampai mereka heboh mau membakar surau ini,”
“Anak Pak Hamid,” jawab Wak Toha sambil menyeka keringatnya. Ia memberikan rotan itu pada Badrun yang dengan patuh segera menyimpannya ke bagian dalam surau. Rotan harganya cukup mahal di kampung itu, walaupun tidak semahal emas dan berlian.
“Anak dia lagi? Waktu itu anak dia juga yang hilang kan?”
“Waktu itu anak perempuannya yang berumur sepuluh tahun, sekarang anak laki-lakinya,”
“Anak laki-lakinya kan sudah remaja. Memangnya wewe gombel mau sama anak besar?” Somad menggelengkan kepalanya.
“Katanya kau tak percaya sama wewe gombel? Tak kuat pendirian kau ini,”
“Siapa yang percaya? Aku masih tetap tak akan percaya,” seloroh Somad tak mau kalah.
“Sudahlah, kalian ini kan sudah tua. Malu lah sama Badrun yang masih muda, dia saja tak ikut debat sama kalian,” lerai Wak Toha disambut anggukan Badrun. “Matahari sudah mau tinggi, kalian tak mau berangkat ke sawah hari ini?”. Tiga tetua itu bangkit dari tempat duduknya, mengikuti Toha dari belakang. “Kau ikut juga ya, Drun?” tawar Wak Toha yang tak menawarkan pilihan lain kepada Badrun selain kata, “iya”.
*****
Kemilau mentari kala itu begitu menyilaukan mata. Wak Toha menarik tubuhnya kedalam saung lalu menjulang kepalanya ke seberang. Kearah sawah milik Wahab, teman sepermainannya sejak kecil.
“Hab! Disana ada Badrun tidak?” pekiknya keras.
“Tak ada! Mungkin di sawah Amir,” jawab Wahab tak kalah keras.
“Sama saja. Tadi dia bilang belum sholat dzuhur dan mau ke surau,”
“Somad juga bilang mau ke surau dan belum kembali sampai sekarang, lihat sana disawahnya cuma ada anak-anaknya,”
Toha hanya mengangguk paham, Badrun mungkin akan kembali berbarengan dengan Somad. Ia mendekat ke sawah Wahab. Duduk di pematang sementara Wahab tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Anak Pak Hamid belum ketemu?” Wak Toha memulai percakapan.
“Sepertinya belum. Dia niat mau bangun masjid kalau anaknya ketemu,”
“Pantas warga seperti mendukung dia buat bakar surau. Dia fikir anaknya bakal ketemu kalau surau itu betul-betul dibakar,”
Akas Somad berteriak dari kejauhan. Tubuh rapuhnya tak cukup kuat untuk berlari, membuatnya hanya bisa terseok lemah memanggil kedua teman sepermainannya sejak kecil itu. Wajah keriputnya nampak memerah dan panik. Sorot marah itu muncul tanpa bisa dicegah, hingga membuat dua manula itu beranjak menghampirinya.
“Surau! Surau dibakar!”
Darah yang terus terpompa hingga keubun-ubun Akas Somad membuatnya tak dapat menahan diri untuk sadar kembali. Beruntung beberapa warga desa melihat dan membantu dua manula itu. Wak Toha dan Akas Amir bergerak menuju surau dan menjumpai kerumunan lebih dari seratus warga kampung di tempat itu.
Habis sudah. Surau itu hanya menyisakan abu bambu kuning kelabu. Tak jauh dari wilayah pembakaran, Badrun berdiri mematung di pelukan Bu Hamid. Sementara suaminya menenangkan beberapa warga desa yang melayangkan protes kepadanya.
Beberapa jam lalu, Badrun baru saja menunaikan kewajibannya. Bau asap mengendus hidungnya ketika sujud. Ia berusaha untuk tetap tenang hingga salam terakhir berhasil ia capai. Tanpa sempat memanjatkan do’a, ia refleks berdiri dan melihat sekelilingnya. Api yang cukup besar melahap dinding anyam surau dan saat itulah Pak Hamid sadar bahwa anak lelakinya yang hilang beberapa hari yang lalu tengah berada disana. Sontak Pak Hamid nekat menembus kedalam api dan membawa anaknya keluar. Alhasil, beberapa luka bakar yang cukup serius ikut menghantamnya dan memberikan trauma mendalam bagi anaknya.
Sebelum Akas Somad tiba di surau, seorang warga mendahului langkahnya dan menceplos hal tentang apa yang akan menimpa surau itu. Jantung Akas Somad melonjak kaget namun dapat diatasinya dengan kalimat tahmid. Ia berbalik arah, memanggil ketiga rekannya yang masih berada disawah.
“Apa yang saya bilang benar kan? Iblis itu sudah menyembunyikan anak saya di surau ini!”
“Jangan bodoh kau Hamid! Anakmu itu kebetulan sedang sholat disana dan dia memang sering ikut kami beribadah belakangan hari ini,” seru Wak Toha lantang.
“Alah persetan dengan ibadah! Kau juga kenapa tidak beritahu aku kalau anakku ada disana?”
“Kami saja baru ingat kalau dia itu anakmu!” tangkis Wak Toha kesal. Dalam hati, ia menyalahkan ingatannya yang mulai pikun dimakan usia. Begitupun juga dengan teman-temannya.
Sirene mobil mendenging diujung jalan. Berbagai pertanyaan timbul di benak para warga. Apakah itu sirene ambulans? Atau mungkin sirene polisi? Sebagian besar warga berpendapat bahwa sirene itu milik mobil pemadam kebakaran karena sebuah kebakaran yang disengaja memang baru saja terjadi di wilayah itu. Namun pendapat itu runtuh karena mobil berwarna cokelat tua-lah yang justru muncul dihadapan mereka. Seorang polisi turun dan menghampiri kerumunan tersebut. Sedikit berbasa-basi mengenai apa yang terjadi di wilayah itu.
“Ngomong-ngomong, ada yang tahu rumah Pak Hamid?” tanya salah satu dari seorang polisi itu, yang memang pertanyaan itulah yang menjadi tujuannya menghampiri kerumunan ini.
“Saya Hamid! Mau apa kau hah? Mau tangkap saya?” cetus Pak Hamid curiga. Kesan tidak takut berusaha ia tunjukkan namun sayangnya hal itu malah membuat kecemasannya makin ketara.
“Bukan pak,” tanggap si polisi dengan wajah sumringah. Menahan perutnya yang menggelitik ingin membuatnya tertawa akibat pernyataan Pak Hamid barusan. “Wah kebetulan sekali. Coba bapak lihat ke mobil kami. Apa itu milik bapak?”
Pak Hamid mendelik curiga. Ia merasa tidak pernah kecurian ataupun kehilangan barang, namun ia tetap melongo ke dalam mobil.
“Badriyah!”
Badrun terbangun dari lamunannya, ia dan Bu Hamid segera berlari menghampiri Pak Hamid. Seorang anak perempuan tidur melintang diatas jok mobil. Beberapa lebam kecil dan sundutan rokok menodai lengan serta wajahnya. Pak Hamid membuka pintu mobil dan menggendong anak perempuannya itu.
“Dia korban human trafficking,” jelas polisi lain yang duduk di kemudi. “Yang terakhir dia ingat, enam bulan lalu dia berada ditengah himpitan bambu kuning lalu sosok tak dikenal mengangkut paksa tubuhnya ke mobil hingga nasibnya berujung hingga seperti ini,”
“Maksudnya anak saya diculik di bambu kuning?” Pak Hamid menggeleng tak mengerti.
“Mungkin pak. Mengenai kenapa dia bisa berada di himpitan bambu kuning itu, tak bisa ia berikan keterangan,”
“Lalu bagaimana keterangan penculiknya?”
“Mohon maaf Pak, kami sudah berusaha mengejar penculiknya namun kami terlalu lamban hingga kami kehilangan jejak mereka,”
Setelah mengucap terimakasih, Pak Hamid memboyong keluarganya meninggalkan kerumunan itu. Badrun terpaksa mengikuti mereka, meskipun ia enggan untuk kembali ke rumah itu. Depresi hebat telah merundungnya ketika pertengkaran yang terjadi diantara orang tuanya lepas dari menghilangnya Badriyah enam bulan lalu. Hal itulah yang mendorong Badrun untuk pergi dari rumah itu dan terpaksa mengungsi ke pos ronda usang yang tak pernah dipakai lagi sejak tradisi “jaga malam” luntur dari adat istiadat kampung mereka. Beruntung, bambu kuning bekas tebangan ayahnya yang putus asa dianyam oleh rombongan ibu-ibu PKK dan dijadikan surau sehingga tempat itu dapat dijadikannya tempat tinggal sementara.
*****
Suburnya humus melahirkan sebuah tunas pada tubuhnya. Tunas yang akan tumbuh menjadi sebuah tanaman kokoh dan berguna bagi pemiliknya. Air deras mengguyurnya, mengalir tanpa hambat dari gayung milik seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu memupuk tunas bambu kuning itu dengan telaten. Karena tunas itulah yang akan menghasilkan pundi-pundi emas untuknya di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H