Apa kabarmu hari ini ? Kemarin hujan turun deras sekali, sampai-sampai banyak orang di luar sana yang tak bisa menepi. Ia basah, dari ujung kepala hingga kaki. Namun langkahnya tak juga berhenti. Sebab ia tau ada yang rela mati-matian menanti, suara derap langkah kaki dan sejumput nasi.
Kemarin ada pula yang hanya menggoyang kaki di tengah hujan yang enggan memberi kata henti. Duduk dengan santai sembari menyantap roti dan segelas kopi. Tangannya menjangkau tumpukan yang diletakkan dengan rapi, menghitung lembar demi lembar uang yang tersimpan di dalam laci. Satu..dua...tiga...hingga seratus, lalu seribu, dan seterusnya seolah semua tak bertepi.
Di tengah rintik dan suara klakson yang memekik, ada pula yang rela berjalan menitik. Tak peduli seberapa banyak bagian yang cabik. Jari nya masih terus saja memetik. Berharap ada hati baik yang mau melirik.
Malangnya bukan senyum yang ia dapat kali itu. Hanya muka masa bodoh yang seakan tak mau tahu. Yang penting ia aman di dalam rangka besi bercatkan abu. Ditemani alunan lagu dan hiasan bambu yang baru ia beli dua puluh menit lalu. Matanya tak menampakkan sendu. Sebab ia tak pernah tahu, bagaimana hidup hanya dengan berteman batu serta kayu.
Memang terkadang rasanya tak berimbang. Segalanya timpang. Namun tetap saja, semua yang datang harus mampu diterima dengan lapang.
Hujan rupanya masih tak mau memberi kata jeda meskipun sudah turun enam puluh menit lamanya. Ia masih belum cukup melepas rasa. Seolah ia adalah bentuk kata putus asa dari setiap manusia. Ditemaninya semua yang sedang merasa kecewa. Memberi wujud setia, meskipun bukan berupa kata. Bisa jadi sebagian orang menganggapnya biasa, namun sebagian lagi menganggap luar biasa. Tentu tak apa, pandangan orang berbeda, karena memang semua punya porsinya.
Ada yang menangis histeris, hanya karena kue yang diinginkannya sudah habis. Ada yang tertawa tak kentara, hanya karena baju yang digunakannya salah warna. Namun bukankah makna hanya diketahui oleh sang pemiliknya ? Rupanya ia menangis histeris ialah karena kue itu untuk sang adik yang sedang kritis. Atau sebenarnya ia tertawa tak kentara hanya untuk menutupi kekurangannya. Tak ada lagi baju yang tersisa, hanya ada satu warna, dan tak ada pilihan lainnya.
Karenanya, jangan terlalu cepat menilai. Jangan terlalu mengaku pandai. Tak semua hal dapat kau lakukan dengan lihai.
Terimalah bahwa setiap yang bernafas punya porsi yang berbeda-beda. Ia punya cara tak sama dalam merefleksikan rasa. Dan tentu saja kau memiliki porsimu sendiri. Mau menjadi baik di hari ini ? Atau mungkin esok hari ? Atau mengkin tidak pernah sama sekali.
Gunakan porsimu, nikmati prosesmu. Tentu akan banyak kejadian baru, mungkin dalam bentuk haru, atau mungkin dalam bentuk tawa di hari biru. Tak ada yang tau. Lakukan saja sebisamu. Pastikan membagi sebaik mungkin waktumu. Karena untuk hal ini, porsi ada di tanganmu.
Tapi tentu saja, tak semua porsi bisa diganti bukan. Tak semua hal bisa kau tentukan. Ibarat memesan makanan, bisa jadi yang datang bukanlah porsi yang kau pesan. Tak bisa diganti, karena sudah tertata di atas meja dengan rapi. Terimalah, cobalah. Mungkin dengan sedikit bumbu ikhlas akan memperbaik rasa. Dan coba tebak, betapa terkejutnya ketika engkau tahu bahwa yang datang lebih enak dari pada yang kau pesan.