Mohon tunggu...
N. Rafini
N. Rafini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pedagang di Tokopedia, Pembeli di Shopee

Suka menulis, menguping, berpikir, dan berkhayal. Kadang INFJ, kadang INTP, pernah INTJ. Penggemar K-Pop generasi kedua.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pengalaman Ngeri Kakak PKL di Bakery

16 Juni 2024   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2024   22:20 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kakak ceritain, tapi Mama jangan cerita ke siapapun, termasuk Bu RT!" ancam Kakak. Kakak memang menyebut dirinya sendiri dengan "Kakak". Gue menyebut diri dengan "Adek". Berbeda dengan Dobby the Free Elf di Harry Potter yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri, Dobby.

"Kenapa rupanya?" tanya Mama, dan rahasia dapur toko roti pun terkuak.

"Jadi. Tadi. Di karung tepung. Bisa-bisanya ada tikus mati terkubur di dalam tepung. Kemaren, kemarennya lagi, Kakak nemuin bayi kecoa di karung tepung. Mending cuma satu, banyak, Ma . . ."

Gue kembali mandang jalan dan mobil di depan kami. Kemacetan yang tadi menghentikan laju kendaraan, sekarang membuat kendaraan merayap atau sering gue sebut ngesot karena lajunya pelan dan jarak yang ditempuh paling-paling hanya dua--tiga meter. Sementara itu, Kakak melanjutkan ceritanya.

"Supervisor bukannya ngapain, kek, gitu, malah nyuruh masukin aja ke tepung berkecoa ke bowl mixer buat diadon. Lah, kalo pelanggan ngeliat bentuknya (kecoa), gimana~?"

Kakak ternyata menggabungkan dua kejadian di waktu berbeda menjadi satu cerita. Gue duga karena sebenarnya dia mau menyimpan rahasia dapur tempat PKL mereka tapi otaknya bingung mau menceritakan yang lebih dulu terjadi (bayi kecoa) atau yang baru dia alami beberapa jam sebelumnya (tikus mati).

Gue ngerti Kakak khawatir akan kualitas produk setelah ditemukan tikus mati di dalam tepung atau ada rasa kecoa di roti yang pelanggan beli. Dia anak boga. Dia tertarik masuk kejuruan boga karena ingin berkecimpung di dunia makanan yang nikmat dan pastinya layak makan. Supervisor tidak selalu ada di toko dan karena bukan dia yang mengolah tepung menjadi aneka roti, tentu supervisor bisa dengan mudah melimpahkan kesalahan pada bawahannya. Siapa lagi kalau bukan baker?

"Dia (supervisor) pergi, baru Kakak sama (menyebut temannya dan karyawan toko) ngayak tepung, misahin tepung dari bayi-bayi kecoa. Kakak gak tau gimana bayi-bayi kecoa bisa masuk ke dalam karung tepung yang belum dibuka."

Gue ngebayangin bayi-bayi kecoa yang disebut kakak gue. Seperti tepung bertabur butiran chocochip atau versi mentah dari roti kismis yang gue benci.

"Kecoa atau kutu?" tanya gue karena merasa gak mungkin kalau kecoa yang masuk ke karung tepung kecuali entah ada ilmu hitam semacam santet atau teluh yang membuat mereka masuk ke sana. Ini pikiran gue dulu yang menolak jijik karena bayangan di benak gue sendiri.

"Kecoa, Deeek . . . Bukan kutu!" jawab Kakak. "Kalo bukan kecoa, pokoknya hewan mirip kecoa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun