Terlihat bahwa keterlibatan militer di Myanmar berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan hingga sekarang. Salah satu contoh pemberontakannya yaitu pemberontakan kelompok komunis dan kelompok etnis Karen.Â
Pada saat itu terjadi kekacauan yang sulit diselesaikan oleh pemerintahannya. Hal tersebut membuat Perdana Menteri U Nu meminta Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar yang bernama Jenderal Ne Win untuk mengambil alih pemerintahan sebagai upaya dalam menstabilkan situasi di Myanmar.
Saat situasi di Myanmar mulai stabil, justru Myanmar terkendala suatu masalah baru. Terjadi perpecahan pada politik internal Myanmar yang dikuasai oleh Anti-Fascist People’s Freedom League yang membuat kubu militer Myanmar terancam. Peristiwa tersebut dimanfaatkan oleh Jenderal Ne Win. Ia memutuskan untuk melancarkan kudeta militer dengan tujuan mengambil alih pemerintahan Myanmar pada tahun 1962. Â
Kudeta tersebut membawa Jenderal Ne Win kepada kursi kekuasaan di Myanmar. Artinya ia dinobatkan secara resmi menjadi pemimpin Myanmar yang baru. Ia menjadikan Myanmar sebagai negara sosialis dengan ditandai oleh Burma Socialist Programme Party yang menjadi satu-satunya partai yang eksis di Myanmar. Selain itu, nasionalisme juga dilakukan terhadap ekonomi negara dan Buddha menjadi agama resmi di negara tersebut.
Pada tahun 1988, kebijakan ekonomi Jenderal Ne Win telah gagal dan terjadilah krisis ekonomi di Myanmar. Hal ini membuat Jenderal Ne Win dikecam oleh masyarakat dan dilakukan demo besar-besaran untuk menyingkirkannya dari kepemimpinan Myanmar.
Pada bulan September 1988, sekelompok petinggi militer juga memutuskan untuk melakukan kudeta militer terhadap Jenderal Ne Win. Pada tanggal 18 September 1988, State Law and Order Restoration Council dibentuk. Pemerintahan itu merupakan pemerintahan Junta militer yang berisi beberapa petinggi militer Myanmar.Â
Perdana Menteri yang dipilih oleh pemerintahan tersebut ialah Jenderal Saw Maung. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan sentralistik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Setiap fungsi tersebut dijalankan oleh militer Myanmar.
Pada bulan Mei 1998, Junta militer mengadakan pemilu melawan partai National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh anak dari Aung San, yaitu Aung San Suu Kyi. Partai tersebut merupakan partai oposisi pemerintah Junta militer. Masyarakat pun suka dengan tujuan dibentuknya partai tersebut, sehingga NLD dapat dikatakan sebagai partai yang populer. Namun, kemenangan NLD dalam pemilu itu tidak diakui oleh Junta militer.Â
Mereka memutuskan untuk menahan Aung San Suu Kyi dan rekan-rekan NLD lainnya. Pemilihan umum dapat dikatakan sangat identik dengan pemilu yang diadakan pada tanggal 8 November 2020 antara partai USDP dengan NLD. Tampaknya Junta militer tidak pernah terima dengan kekalahan. Mereka selalu menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang oposisi setiap kubunya dikalahkan.
Terlihat bahwa Myanmar kesulitan untuk keluar dari kejadian-kejadian masa lalu. Tepat setelah masa kemerdekaan sampai sekarang, Myanmar masih belum mampu keluar dari masalah-masalah yang tampaknya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Kudeta militer di Myanmar terus terjadi dan sepertinya mereka tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini juga berarti bahwa akan sulit bagi Myanmar untuk mewujudkan demokratisasi. ASEAN pun tidak dapat membantu Myanmar dalam kasus ini, karena mereka menganut prinsip non-intervensi, sehingga sulit bagi mereka untuk ikut serta dalam membantu Myanmar dalam menyelesaikan masalah yang sangat bersejarah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H