Ntah mengapa tiba-tiba kaki ini mengajak kesuatu tempat dimana banyak tumbuh pohon-pohon yang menjulang tinggi. Tempat itu biasa aku sebut "bhak". Ada sejarah untuk tempat itu.
Sore itu, memang aku sama sekali tidak tau mau kemana, dan aku berterima kasih pada kaki ku karena ia sudah mengajakku kesini. Aku langsung duduk di bawah pohon beringin kesukaanku. Aku tak membawa apa-apa, hanya membawa titik kepala sampai titik kaki. Ya, hanya membawa diri.Â
Aku duduk termenung, ntah apa yang kupikirkan. Tapi, ku akui aku sangat nyaman berada disitu. Teman-temanku setia menemaniku. Baik itu angin, pohon dan tanah. Mereka yang selalu berada disisiku. Tapi aku tak pilih kasih pada mereka. Aku menyanyangi mereka semua. Buktinya saja, aku bersandar di pohon yang tumbuh diatas tanah dan menikmati angin yang begitu menyentuh. Adil kan? Tentu.
Tapi, selang waktu, kenyamananku tiba-tiba rusak. Salah satu teman setiaku tiba-tiba menjerit sambil menangis. "Kenapa kau tanah?"tanyaku. Tanah merontah, sakit pikirku. Tapi dari mulutnya keluar kata-kata yang tak kuhitung jumlahnya. Tanah menjerit penuh pilu. Ya ternyata dia memang kesakitan. Rupanya, ia digerogoti oleh teman-temannya.Â
Dasar cacing, semut, dan akar pikirku. Cacing, semut dan akar menyalahkan tanah. Mengapa tanah tidak adil. Padahal tanah itu berada ditengah-tengah mereka. Cacing, semut dan akar sangat bosan dan kesepian dalam tanah. Tetapi, tanah tidak pernah memperdulikannya. Tetap saja ia bahagia menumbuhkan pohon itu hingga puluhan meter tingginya. "Jadi kalian mau apa?"tanya tanah.Â
Ternyata mereka menginginkan pohon itu jangan selalu berada diatas tanah. Mereka ingin pohon menemani mereka dibawah. Tentu saja menjadi ramai dan berbeda pikir mereka. Tanah pun berpikir. Lalu tanah bertanya padaku, bagaimana ini? Aku pun merasa bingung. Karena pohon sudah merasa bahagia tumbuh bersama kami diatas. Menikmati angin.Â
Tapi aku juga merasa iba dengan cacing,semut dan akar dibawah. Lalu kukatakan pada tanah untuk menuruti permintaan mereka. Walau nanti tak ada lagi tempat sandaranku, pikirku. Atau aku ikut bersama pohon kebawah tanah? Ah jangan, nanti siapa yang menikmati angin disini? Akupun bermain panjang di benak.
Tak berapa lama, tanah pun menyetujui permintaan cacing, semut dan akar. Tak butuh waktu lama, pohon pun sudah dipindahkan kedalam tanah bersama cacing, semut dan akar. Pohon disambut dengan gembira oleh mereka. Seakan ada pesta. Terdengar olehku suara sorak mereka yang sangat riuh. Norak pikirku. Aku cukup kecewa karena pohon kesukaanku sudah tak bersamaku lagi, tapi aku juga sedikit tenang karena tanahku sudah tidak merontah kesakitan.
Tapi, aku sedikit menggunjing dengan tanah, temanku. Siapa lagi yang akan menjadi sandaranku? Sekarang pohon kesukaanku sudah dirampas. Memang, banyak lagi pohon-pohon yang tumbuh disana. Tapi mereka tak senyaman pohon beringin kesukaanku. Lalu bagaimana? Sementara aku tak selamanya bahagia, pasti aku akan pernah merasa sedih dan sepi, lalu kemana aku bersandar? Ahhh.Â
Hatiku semakin kecewa. Tapi tanah menenangkanku. Ia berkata, ia akan berusaha menumbuhkan pohon yang akan nyaman untuk sandaranku. Tapi akan lama pikirku. Tidak. Ternyata tidak. Selang waktu, aku sudah menemukan pohon pengganti yang cukup nyaman untuk aku bersandar. Dan hampir setiap hari angin memanggilku untuk kesitu. Berkumpul dengan teman baru. Namanya "mahoni". Kami sudah saling menyapa dan akhirnya saling menyayangi. Senang juga pikirku.
Esoknya, aku teringat oleh teman lamaku, beringin. Apa kabar dia dibawah tanah? Apakah sudah bahagia bersama cacing,semut dan akar? Kupikir sudah. Kami pun menyerukan pertanyaan dari atas tanah. Mereka pun serempak menjawabnya. Ternyata benar, mereka sudah saling bahagia, apalagi akar, yang selama ini tak pernah berjumpa dengan beringin. Merekapun berterimakasih pada tanah yang sudah adil pada mereka. Mereka tak lagi merasa sepi, tak lagi merasa bosan, karena hidup mereka sudah berwarna dengan adanya pohon dibawah tanah. Beringin.