"Aku bercerita padamu bagaimana nestapaku saat dia pergi. Menyelinapkan kemesrahan yang hanya sedikit pada gurauan tentang hati, dan memandang mata  yang mulai hangat karena nyaman yang menghantam, lalu kamu jatuh hati pada tarian-tarian nestapaku, kau hakimi aku sebagai yang paling bersalah karena mencuri sedikit hatimu?"
***
Kali ini aku tak harus membagi nasi bungkusku dengan kucing jalanan lagi, membiarkan terik membakar kulit dan harus memiliki bekas sandal jepit pada punggung telapak kaki. Aku cukup datang padanya, yang katanya dengan senang hati mencermati isi hati. Dan mungkin dia pun akan senang bila aku membagi nasi bungkus kepadanya walau akhirnya tak membuat cacing di perutnya berenti berteriak.
Aku bebas saja datang. Bicara mengenai gunung-gunung, telaga hingga kunag-kunang yang mulai jarang terlihat. Tertawa pada sesuatu yang kecil bahkan mengumpat padanya karena kesal pada yang lain, seperti memiliki tempat pulang walau tak berbentuk bangunan.
Hingga pada suatu saat, pandangan matanya mulai susah kuartikan, mulai mistis, posesif. Aku seperti melihat sulur-sulur seperti akar yang bergerak-gerak  ingin mengikat kencang tubuhku. Aku setengah tak peduli dengan sorot yang mulai berbeda itu. Bisa jadi hanya karena dia sedang sakit, karena memang perbedaan itu kurasakan ketika dia sembuh dari tyfusnya, lalu meriangnya masih saja kambuh menjelang malam.
Kami masih melakukan hal yang sama setiap saat. Bertemu setiap matahari yang sedang panas-panasnya. Dan menikmati segelas es teh yang kami nikmati berdua.
"Aku jatuh hati padamu",susunan empat kata kembali dari bibirnya namun kali ini ada sesak di dadaku, entah mengapa.
Seperti memutar waktu kembali, dapat kurasa goncangan di punggungku dan genggaman tulus untuk jemariku, saat itu aku menjadi nyaman seketika.
"hei, kau dengar aku?", di guncangnya bahuku dan digenggamnya jemariku.
Anehnya, aku merasa meremas kembali kertas foto yang telah ku jadikan beberapa potong tak beraturan saat itu, namun kali ini tak tahu harus mengharap siapa yang datang.