Kasus kekerasan seksual belakangan ini semakin marak terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Kekerasan ini menjelma ke berbagai lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah, universitas, tempat kerja, tempat umum dan masih banyak lagi. Berdasarkan data dari siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU), kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 338.496 per tahun 2021.Â
Data tersebut diambil dari tahun 2010 dengan jumlah kasus 105.103, dalam artian ada peningkatan sekitar 19,6% per tahunnya. Angka tersebut setidaknya memberikan kesimpulan bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia bukanlah kasus yang mudah untuk diselesaikan dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama-sama.Â
Masih berdasarkan data Komnas Perempuan, perguruan tinggi menduduki peringkat pertama sebagai lingkungan yang paling sering terjadi kekerasan seksual sejak tahun 2015 sampai 2021.Â
Terdapat tiga contoh kasus di perguruan tinggi pada tahun 2021 yang dilansir dari IDN Times, kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi Universitas Negeri Jakarta yang dilakukan oleh dosen berinisial DA, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh inisial AS terhadap rekannya di dalam Organisasi Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI), kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi di Universitas Riau yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik dengan inisial SH saat melakukan bimbingan skripsi, dan masih banyak lagi. Kasus yang terjadi di lingkungan universitas ini memiliki latar belakang yang sangat luas dengan berbagai macam perbedaan motif dari para pelaku.Â
Sayangnya, hal yang membuat perhatian lebih adalah dari sederet kasus yang terjadi di lingkungan universitas memberikan pertanyaan apakah kampus sebagai tempat menuntut ilmu tidak memberikan pencegahan terhadap terjadinya kasus kekerasan seksual. Lantas bagaimana pertolongan maupun penanganan yang diberikan oleh universitas agar memberikan rasa aman kepada mahasiswanya.
Menyikapi hal tersebut, Amiira Mazaya mahasiswa Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran selaku anggota dari HopeHelps Unpad (Pengada Layanan Tanggap dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus) memberikan tanggapannya terkait keadaan proses pelaporan dan penanganan kasus kekerasan seksual di Universitas Padjadjaran. Menurut Amiira, penanganan kasus kekerasan seksual oleh kampus sudah berjalan dengan baik tetapi belum berjalan secara menyeluruh.Â
Sebagai contoh, pihak fakultas masih  jarang mendapatkan laporan kekerasan seksual dari korban, baik dari internal maupun eksternal kampus. Hal ini disebabkan banyak kekerasan seksual yang ditangani dengan lingkup yang lebih kecil, seperti melalui organisasi mahasiswa (ormawa). Sayangnya, menurut Amiira penanganan yang dilakukan oleh ormawa masih belum memperhatikan kondisi keadaan korban secara menyeluruh.Â
Baru-baru ini beberapa ormawa, yang tidak disebut oleh Amiira identitasnya, mencoba melakukan penanganan kekerasan seksual dengan mempublikasikan surat pengeluaran pelaku dari ormawa tersebut Tidak banyak korban yang ingin kasusnya terbuka kepada khalayak umum karena dapat memancing rasa traumanya muncul.Â
Selain dari pihak fakultas dan ormawa, pihak lain yang bergerak di bidang advokasi kekerasan seksual juga turut memberikan bantuan kepada korban untuk melakukan proses pelaporan, seperti contoh HopeHelps, komunitas yang diikuti oleh Amiira.Â
Tak hanya HopeHelps, Universitas Padjadjaran juga turut membentuk tim penangan kasus kekerasan seksual di kampus bernama Satuan Tugas Pencegahan dan Penaganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Pembentukan satgas ini merupakan cara dari Universitas Padjadjaran untuk mewujudkan amanah dari  Kemendikbud Ristek melalui Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021Â
Mungkin penangan-penangan yang dilakukan dalam lingkup kampus belum berjalan dengan baik, namun setidaknya upaya demi upaya terus dilakukan oleh pemerintah, universitas terkait, ormawa, maupun komunitas yang bergerak di bidang advokasi kekerasan seksual.Â