Aku adalah seorang petani biasa yang tinggal di desa kecil, terasing di antara pegunungan hijau yang membentang. Setiap hari, rutinitas membajak tanah dan merawat tanaman seakan menghantuiku. Meski alam sekitarku indah, hatiku tak pernah merasa nyaman. Ada satu luka yang tak pernah bisa sembuh---sebuah keputusan keliru yang terus mengikatku dalam penyesalan.
Tahun lalu, teman-teman seumuranku memutuskan untuk pergi ke kota besar, mengejar impian mereka masing-masing. Mereka bersemangat, berbicara tentang harapan dan tujuan yang manis. Namun, ketika saatnya tiba, aku memilih untuk tetap di sini. Ketakutan akan ketidakpastian dan rasa nyaman di desa membuatku berdiam diri. Aku menyaksikan mereka pergi, tak bisa menahan air mata dari pelupuk mataku. Momen itu adalah titian yang mengubah arah hidupku.
Beberapa bulan setelah kepergian mereka, kabar mengenai salah satu teman, yang sekarang menjadi pelukis terkenal, sampai ke telingaku. Dia menciptakan karya yang memukau banyak orang, dan semua orang berbicara tentang suara seninya yang luar biasa. Hatiku hancur ketika mendengar semua pujian itu. Rasa penyesalan yang mendalam mulai menyelimutiku. "Seharusnya aku ikut pergi," pikirku berulang-ulang. Rasa sakit itu terus bercokol dalam benakku, membunuh semangat yang ada.
Suatu sore, saat aku sedang membajak tanah, mendadak aku dikejutkan oleh suara keras dari jalan setapak di dekat ladangku. Rasa ingin tahuku terbangun, dan aku berlari menuju sumber suara itu. Betapa terkejutnya aku ketika menemukan teman lamaku tergeletak tak berdaya, terluka parah akibat kecelakaan. Ia adalah orang yang selalu berbagi impian saat kami masih bersama. Tanpa berpikir panjang, aku mengangkatnya dan dengan segenap tenaga membawanya ke rumah sakit terdekat.
Di rumah sakit, saat menunggu kabar tentang keadaannya, hati ini bergetar. Saat melihat wajahnya yang lemah, aku berdoa agar ia segera pulih. Setelah beberapa hari, kabar baik datang. Temanku berhasil melewati masa kritis. Ketika ia siuman, kami saling memandang dalam keheningan, seolah semua kata tidak lagi dibutuhkan. Dalam momen itu, kami berbagi lebih dari sekadar kata-kata---kami berbagi impian yang telah terluka.
Waktu berlalu dan hari-hari kami di rumah sakit penuh tawa dan cerita. Ia mulai menunjukkan berbagai coretan karyanya---apa yang tumbuh dari jiwa dan pikirannya. Coretan-coretan itu belum menjadi karya akhir, tetap terasa mentah namun menyimpan segudang potensi. "Apa yang menghalangimu untuk mengejar mimpimu?" tanyanya suatu ketika dengan suara penuh harap.
Pertanyaannya menggugah angin dalam diriku. Dalam keheningan yang menyesakkan itu, aku merasakan semua rasa takut terbangun kembali. Sebuah refleksi tersampaikan, betapa aku telah lama mengurung diri dalam rasa takut dan penyesalan. Dan seiring kami berbincang tentang impian yang telah pupus, suara hatiku seakan memanggilku untuk bangkit. Aku teringat saat-saat kami bercita-cita, berbagi harapan yang tidak memiliki batas.
Ketika temanku sudah pulih, dia mengajakku untuk pergi ke kota bersamanya. "Ayo, kita mulai lagi," katanya. Meski bergetar di dalam hati, aku merasakan bahwa ini adalah kesempatan kedua yang sangat berharga. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk dan bersiap untuk meninggalkan desa yang telah lama ku tinggali.
Setibanya di kota, aku disuguhi oleh pemandangan yang benderang. Kontras sekali dengan kesederhanaan desa. Suara kendaraan yang berlalu-lalang, gemerlap lampu kota, dan orang-orang yang berpacu dengan waktu menghadirkan dunia baru. Aku merasa seperti ikan di tengah laut yang lepas. Namun, semangat temanku membawaku untuk belajar tentang seni lebih dalam.
Selama berbulan-bulan, aku berlatih, menggambar dan menciptakan dengan semangat yang menyala-nyala. Temanku selalu di sampingku, memberiku dorongan saat aku merasa putus asa. Dari waktu ke waktu, karya-karyaku mulai berkembang, dan meski belum sempurna, aku mulai mendapatkan pengakuan dari beberapa galeri kecil. Setiap lembar kertas yang kutandai dengan warna merupakan perjalanan dari ketidakpastian menuju kepercayaan diri.